1,2 Juta Hektare Lahan Hijau Hilang, Dedi Mulyadi Siapkan Evaluasi Tata Ruang Jawa Barat

 1,2 Juta Hektare Lahan Hijau Hilang, Dedi Mulyadi Siapkan Evaluasi Tata Ruang Jawa Barat


Tata ruang wilayah adalah fondasi penting dalam menjaga keseimbangan pembangunan dan kelestarian lingkungan. Namun, di Jawa Barat, fondasi tersebut kini terguncang. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengungkapkan fakta mencemaskan: lebih dari 1,2 juta hektare lahan hijau hilang akibat kesalahan tata ruang. Hilangnya kawasan hijau ini bukan sekadar catatan statistik, melainkan ancaman nyata terhadap keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat.



Dalam pandangan Dedi, kekacauan tata ruang ini berawal dari kebijakan yang lebih menekankan aspek politik dan ekonomi jangka pendek dibandingkan konservasi alam. Akibatnya, banyak kawasan hutan, perkebunan, dan ruang terbuka hijau yang bergeser menjadi area industri, pariwisata, hingga permukiman padat. Hal ini memperlihatkan bagaimana pertumbuhan pembangunan sering kali menyingkirkan prinsip keberlanjutan yang seharusnya menjadi pegangan utama.


Lahan Hijau yang Hilang: Cermin Krisis Tata Ruang


Hilangnya lahan hijau seluas 1,2 juta hektare menunjukkan bahwa masalah tata ruang Jawa Barat bukan sekadar isu administratif. Di balik angka tersebut, terdapat kenyataan bahwa hutan gundul, sawah berkurang, serta ruang alami yang seharusnya menjadi penopang kehidupan kini tergantikan oleh beton dan aspal.


Dua daerah yang paling terdampak adalah Bekasi dan Kabupaten Bogor. Di kawasan ini, alih fungsi lahan berlangsung masif, dari yang semula berupa ruang hijau menjadi area pariwisata, hotel, bahkan permukiman modern. Sisi ekonomi dari perubahan ini memang terlihat jelas, seperti meningkatnya investasi, bertambahnya lapangan kerja, dan berkembangnya infrastruktur. Namun, konsekuensi ekologisnya jauh lebih berat: banjir kian sering melanda, kualitas udara menurun, dan potensi bencana alam meningkat drastis.


Dampak Lingkungan dan Ancaman Bencana


Dedi Mulyadi menekankan bahwa kesalahan tata ruang ini berbanding lurus dengan risiko bencana. Hilangnya kawasan hijau berarti hilangnya fungsi ekologis alami yang selama ini menjadi benteng pertahanan alam.


Hutan yang seharusnya menyerap air kini berubah menjadi permukaan kedap air seperti beton, sehingga air hujan tidak terserap ke dalam tanah. Akibatnya, banjir bandang menjadi ancaman nyata bahkan di daerah pegunungan. Begitu pula dengan longsor, yang semakin sering terjadi karena lereng-lereng bukit kehilangan tutupan vegetasi.


Ancaman ini tidak hanya berimbas pada kerugian materi, tetapi juga menyangkut keselamatan jiwa masyarakat. Dedi mengingatkan, bila tata ruang tidak segera diperbaiki, Jawa Barat bisa “dikepung bencana”—sebuah istilah yang mencerminkan kondisi darurat lingkungan yang sedang dihadapi provinsi ini.


Politik dan Tata Ruang yang Kacau


Masalah mendasar dalam tata ruang Jawa Barat terletak pada dominasi politik dalam pengambilan keputusan. Alih-alih mengedepankan kajian ilmiah dan prinsip konservasi, banyak kebijakan yang lahir karena kepentingan sesaat.


Pembangunan kawasan industri, perumahan elit, hingga objek wisata kerap mendapat prioritas tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Padahal, tata ruang seharusnya mengatur keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Dengan berjalannya pola seperti ini, wajar jika ruang hijau makin menyusut sementara risiko bencana terus meningkat.


Rencana Evaluasi dan Revisi RTRW


Sebagai langkah solutif, Dedi Mulyadi menyatakan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat. Evaluasi ini bukan hanya formalitas, melainkan upaya nyata untuk membenahi sistem yang selama ini dinilai kacau.


Dedi meminta organisasi perangkat daerah (OPD) terkait untuk menggali kembali data tata ruang lama, termasuk peta dari era Hindia Belanda. Menurutnya, tata ruang zaman kolonial justru memiliki nilai penting, karena saat itu pembangunan masih memperhatikan keselarasan dengan alam. Data tersebut bisa menjadi referensi berharga dalam menyusun tata ruang baru yang lebih berkelanjutan.


Dengan evaluasi ini, Dedi berharap tercipta tata ruang yang tidak hanya mengakomodasi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keberlangsungan ekosistem. Harapannya sederhana namun vital: gunung tetap indah, air sungai tetap jernih, pantai bersih, dan sawah bertingkat tetap lestari.


Mengembalikan Harmoni Alam dan Pembangunan


Visi yang diusung Dedi Mulyadi adalah membangun Jawa Barat tanpa merusak alamnya. Ia menegaskan bahwa evaluasi tata ruang bukan untuk menghentikan pembangunan industri atau permukiman, melainkan untuk memastikan agar pembangunan berjalan berdampingan dengan kelestarian lingkungan.


Konsep pembangunan berkelanjutan seharusnya menjadi ruh dalam tata ruang. Dengan demikian, ekonomi tetap tumbuh, tetapi lingkungan tidak dikorbankan. Gunung, hutan, sungai, dan pantai harus tetap menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, bukan sekadar latar belakang yang perlahan menghilang.


Tantangan Besar dalam Perubahan


Meskipun rencana evaluasi terdengar menjanjikan, tantangan di lapangan tidaklah kecil. Ada banyak kepentingan yang sudah terlanjur melekat pada lahan-lahan yang dialihfungsikan. Investor, pengembang, hingga kelompok politik tertentu mungkin menolak perubahan aturan yang dianggap merugikan mereka.


Selain itu, proses revisi RTRW membutuhkan koordinasi lintas sektor dan lintas daerah. Tata ruang tidak hanya menyangkut pembangunan fisik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, hingga budaya. Jika tidak dikelola dengan baik, konflik kepentingan bisa menjadi hambatan serius dalam implementasi kebijakan.


Namun, jika berhasil dilakukan, evaluasi ini bisa menjadi tonggak baru bagi Jawa Barat dalam membangun wilayah yang lebih harmonis antara manusia dan alam.


Pelajaran dari Kesalahan Masa Lalu


Kehilangan 1,2 juta hektare lahan hijau adalah pelajaran mahal bagi Jawa Barat. Angka tersebut menggambarkan bagaimana kesalahan tata ruang bisa berdampak jangka panjang. Dari sini, dapat dipetik pelajaran bahwa pembangunan yang mengabaikan konservasi hanya akan menghasilkan kemajuan semu.


Memang, alih fungsi lahan bisa mendatangkan keuntungan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi tanpa keseimbangan ekologis, keuntungan itu akan hilang tertutup biaya besar akibat bencana dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, evaluasi tata ruang menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar pilihan.


Harapan Baru untuk Jawa Barat


Dedi Mulyadi membawa semangat untuk mengembalikan keseimbangan tata ruang Jawa Barat. Dengan rencana evaluasi yang menyeluruh, diharapkan lahir kebijakan baru yang lebih berpihak pada alam sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi.


Jika revisi RTRW berhasil dilakukan, Jawa Barat bisa menjadi contoh bagi provinsi lain dalam mengelola tata ruang yang selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Keberhasilan ini juga bisa menjadi warisan penting bagi generasi mendatang, memastikan mereka tetap bisa menikmati gunung, hutan, sungai, dan sawah yang kini nyaris hilang.


Penutup


Krisis tata ruang Jawa Barat adalah peringatan keras tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Hilangnya 1,2 juta hektare lahan hijau menjadi bukti nyata bahwa pendekatan politik dalam tata ruang bisa membawa bencana ekologis.


Namun, di tengah situasi yang mengkhawatirkan ini, muncul harapan baru melalui langkah evaluasi yang direncanakan oleh Dedi Mulyadi. Dengan tekad untuk mengembalikan harmoni antara manusia dan alam, Jawa Barat berpeluang keluar dari krisis tata ruang dan menjadi provinsi yang lebih tangguh menghadapi masa depan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama