PATI – Pernyataan mengejutkan datang dari Bupati Pati, Sudewo, yang menanggapi penolakan keras warga terhadap kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Di tengah gejolak protes dan rencana aksi massa berskala besar, Sudewo menyatakan dirinya tidak gentar sekalipun ada puluhan ribu warga turun ke jalan menolak kebijakannya.
"50 ribu orang pun saya tak gentar," ucapnya dalam sebuah rekaman video yang kini viral di berbagai platform media sosial. Pernyataan itu bukan hanya mencerminkan ketegasan, namun juga menyulut emosi banyak pihak yang merasa keberatan atas kebijakan kenaikan pajak tersebut.
Gelombang Penolakan dari Warga
Kebijakan Pemkab Pati yang menaikkan tarif PBB-P2 sebesar 250 persen sontak memicu reaksi keras masyarakat. Kelompok warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menilai bahwa kenaikan tersebut terlalu drastis dan memberatkan, apalagi diterapkan tanpa melalui sosialisasi yang memadai di tingkat bawah.
Mereka pun segera mengorganisasi aksi besar-besaran yang dijadwalkan pada 13–14 Agustus 2025 di halaman Kantor Bupati Pati. Selain menolak kenaikan PBB-P2, massa juga membawa tuntutan lainnya, termasuk pencabutan pajak bagi pedagang kaki lima (PKL) dan bahkan mendesak agar Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.
Antusiasme warga dalam menggalang dukungan aksi terlihat jelas dari pembentukan posko donasi di kawasan strategis. Mereka menyediakan ribuan dus air mineral yang di masing-masing kemasannya tertera tuntutan penolakan terhadap kebijakan pajak baru tersebut. Dukungan logistik pun terus mengalir dari berbagai desa di Pati.
Satpol PP Turun Tangan, Ketegangan di Alun-Alun
Namun, semangat warga untuk menyuarakan aspirasi sempat terganjal oleh tindakan aparat. Pada awal Agustus 2025, aparat dari Satpol PP Kabupaten Pati mendatangi lokasi penggalangan dana di sekitar Alun-Alun Pati. Mereka meminta agar posko tersebut segera dibubarkan dan dipindahkan ke lokasi lain dengan alasan bahwa alun-alun akan digunakan untuk acara peringatan Hari Jadi Kabupaten dan HUT ke-80 RI.
Dalam proses penertiban itu, sempat terjadi ketegangan antara aparat dan warga. Beberapa dus air mineral yang bertuliskan tuntutan warga diangkut oleh truk Satpol PP. Namun salah satu koordinator massa, Supriyono, nekat naik ke atas truk dan melepaskan kembali kardus-kardus tersebut, yang langsung disambut sorak-sorai warga di lokasi.
Ketegangan kian memuncak ketika Plt Sekretaris Daerah Kabupaten Pati, Riyoso, datang ke lokasi dan terlibat adu mulut dengan para koordinator aksi. Meski demikian, para warga tetap bersikukuh mempertahankan posko bantuan hingga waktu pelaksanaan demonstrasi.
Pernyataan Bupati yang Memantik Emosi
Di tengah meningkatnya ketegangan, video pernyataan Bupati Sudewo yang menantang warga semakin menyulut amarah publik. Dalam video itu, ia menyampaikan bahwa meskipun ada puluhan ribu massa yang turun ke jalan, dirinya tidak akan mundur atau membatalkan kebijakan yang telah ditetapkan.
“Jangan dikira saya takut, walau 50 ribu orang demo, saya tetap pada keputusan,” katanya lantang.
Pernyataan tersebut dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Banyak warga menyayangkan sikap Bupati yang dinilai tidak membuka ruang dialog atau mediasi dengan masyarakat sebelum memutuskan kenaikan PBB-P2 yang sangat drastis.
Alasan Pemerintah Daerah
Menanggapi kritik tajam dari berbagai pihak, Bupati Sudewo mengungkapkan bahwa keputusan menaikkan PBB-P2 sebesar 250 persen bukan dibuat secara sepihak, melainkan didasarkan pada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Ia menyebut bahwa tarif PBB di Kabupaten Pati sudah tidak berubah selama 14 tahun terakhir, sehingga tidak lagi relevan dengan perkembangan ekonomi saat ini. Pendapatan dari sektor pajak ini selama ini hanya berkisar Rp 29 miliar per tahun, jauh lebih kecil dibandingkan kabupaten tetangga seperti Jepara, Kudus, atau Rembang.
“Kalau mau membangun jalan, jembatan, rumah sakit, pasar, GOR, dan memperbaiki infrastruktur pertanian dan perikanan, dari mana uangnya kalau PAD rendah?” ujar Sudewo dalam pernyataan resmi.
Ia juga menekankan bahwa kenaikan ini dilakukan secara proporsional berdasarkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) terbaru, dan tidak bersifat merata untuk semua wilayah. Menurutnya, sebagian besar rumah warga kecil dan petani justru hanya mengalami kenaikan kecil atau bahkan tidak naik sama sekali.
Pro dan Kontra di Tengah Masyarakat
Di tengah polemik ini, opini publik pun terbelah. Sebagian pihak menilai bahwa langkah Sudewo cukup berani dan dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan daerah. Namun di sisi lain, cara penyampaiannya serta minimnya pendekatan persuasif membuat banyak warga merasa kebijakan ini sewenang-wenang.
Beberapa tokoh masyarakat dan akademisi lokal pun menyarankan agar Pemkab Pati menunda implementasi kebijakan ini dan melakukan sosialisasi serta dialog terbuka dengan warga. Sebab jika tidak, dikhawatirkan gejolak sosial akan semakin membesar dan mengganggu stabilitas daerah.
Kilas Balik Kontroversi Sebelumnya
Sudewo bukanlah nama baru dalam deretan kepala daerah yang kerap menjadi sorotan publik. Sebelumnya, ia juga sempat viral karena menghadirkan grup dangdut Trio Srigala dalam acara resmi Pemkab Pati. Penampilan mereka yang dianggap tidak pantas memicu kritik luas dari masyarakat.
Sudewo kemudian meminta maaf atas insiden itu dan menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui detail penampilan Trio Srigala sebelum acara berlangsung. Ia juga mengaku telah menegur panitia penyelenggara dan berjanji lebih berhati-hati dalam memilih pengisi acara resmi ke depannya.
Namun berbagai peristiwa ini seolah membentuk narasi publik bahwa kepemimpinan Sudewo sarat dengan kontroversi. Apalagi ketika respons terhadap kritik masyarakat dibalas dengan tantangan terbuka, suasana semakin panas dan jauh dari iklim pemerintahan yang partisipatif.
Menanti Arah Kebijakan Selanjutnya
Kini, perhatian masyarakat tertuju pada bagaimana jalannya aksi unjuk rasa besar pada pertengahan Agustus 2025 nanti. Ribuan warga telah menyatakan siap hadir dan memperjuangkan tuntutan mereka di hadapan kantor pemerintahan yang mereka anggap sudah kehilangan kepekaan terhadap beban ekonomi rakyat kecil.
Sementara itu, Pemkab Pati bersikukuh bahwa kebijakan ini akan tetap dilaksanakan karena menyangkut masa depan pembangunan daerah. Di sisi lain, masyarakat juga tidak ingin diam ketika merasa diperlakukan tidak adil.
Aksi ini bisa menjadi ujian besar bagi kepemimpinan Bupati Sudewo. Apakah ia mampu mengelola aspirasi masyarakat dengan bijaksana, atau tetap memilih jalan keras yang memperlebar jarak antara rakyat dan pemimpinnya?
Penutup
Kontroversi kenaikan PBB-P2 di Kabupaten Pati bukan sekadar persoalan teknis administrasi pajak. Ini menyentuh langsung relasi antara pemimpin daerah dan rakyatnya. Ketika rakyat merasa tidak dilibatkan dan tidak didengar, maka aksi protes menjadi jalan terakhir.
Pernyataan Bupati yang menyatakan tak gentar meski didemo 50 ribu warga mungkin dimaksudkan sebagai bentuk ketegasan. Namun di mata sebagian besar warga, itu justru mencerminkan sikap defensif dan kurang empati.
Apapun hasil dari dinamika ini, satu hal yang pasti: suara rakyat tetap harus menjadi pusat dari setiap kebijakan. Karena legitimasi seorang pemimpin sejatinya lahir dari kepercayaan, bukan dari tantangan.
