Hadiri Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi di Bareskrim, Roy Suryo Ungkap Anomali Teknis yang Mengejutkan

 Hadiri Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi di Bareskrim, Roy Suryo Ungkap Anomali Teknis yang Mengejutkan



Pada hari Selasa, 9 Juli 2025, suasana Gedung Bareskrim Polri di Jakarta Selatan tampak lebih ramai dari biasanya. Salah satu sosok yang mencuri perhatian adalah pakar telematika dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo. Ia datang tidak sendiri, melainkan bersama sejumlah tokoh dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), termasuk ahli data Dr. Rismon Sianipar, pengacara senior Eggy Sudjana, dan beberapa aktivis lain seperti Tifauzia Tyassuma.


Kehadiran mereka bukan tanpa alasan. Hari itu dijadwalkan gelar perkara khusus terkait polemik ijazah Presiden Joko Widodo—sebuah isu yang telah menjadi kontroversi publik sejak beberapa waktu lalu. Roy Suryo menyatakan bahwa ia siap memaparkan analisis teknis secara detail mengenai keabsahan dokumen ijazah tersebut. Menurutnya, berdasarkan kajian mendalam, terdapat indikasi kuat bahwa ijazah Jokowi "99,9% palsu."


Latar Belakang Gelar Perkara Khusus

Permintaan untuk menggelar perkara khusus ini sebelumnya telah diajukan oleh TPUA. Mereka menilai, dalam penanganan kasus ijazah Jokowi oleh Bareskrim, terdapat sejumlah kejanggalan yang merugikan proses pencarian kebenaran secara ilmiah dan hukum. Salah satu kritik utama adalah bahwa Bareskrim terlalu cepat menyimpulkan bahwa ijazah tersebut asli tanpa melibatkan saksi-saksi ahli yang telah melakukan investigasi independen, seperti Roy Suryo dan Rismon Sianipar.


Pada 22 Mei 2025, Bareskrim sempat menggelar konferensi pers dan menyatakan bahwa ijazah Presiden Joko Widodo adalah asli, berdasarkan dokumen dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan arsip lainnya. Namun, bagi Roy Suryo dan TPUA, pernyataan tersebut belum memadai tanpa verifikasi forensik dan pembuktian teknis secara terbuka dan menyeluruh. Maka, mereka meminta gelar perkara khusus agar temuan teknis bisa disampaikan langsung ke penyidik.


Dua Versi Ijazah yang Berbeda

Salah satu poin utama yang diangkat Roy dalam keterangannya adalah soal dua versi ijazah yang beredar. Versi pertama merupakan salinan yang diunggah oleh politikus PSI, Dian Sandi, di media sosial. Versi kedua adalah ijazah yang dirilis secara resmi oleh pihak kepolisian saat konferensi pers. Menurut Roy, kedua dokumen tersebut tidak identik. Ia menyebutkan bahwa dalam analisis mikroskopis dan digital, ditemukan sejumlah perbedaan mencolok, mulai dari jenis huruf, spasi, format penulisan, hingga tanda tangan dan stempel.


Perbedaan tersebut bukan sekadar variasi estetika atau hasil dari proses pemindaian (scanning) yang berbeda, melainkan menunjukkan bahwa setidaknya salah satu dokumen merupakan hasil manipulasi atau bukan produk resmi dari lembaga pendidikan.


“Secara teknis, saya dan Dr. Rismon telah membandingkan dua versi tersebut menggunakan metode analisis forensik digital, dan hasilnya menunjukkan anomali yang sangat signifikan,” ungkap Roy kepada awak media sebelum masuk ke ruang gelar perkara.


Penjelasan Teknis Roy Suryo dan Tim

Dalam agenda gelar perkara, Roy dan Rismon dijadwalkan memberikan presentasi teknis mengenai apa yang mereka sebut sebagai "ketidaksesuaian format dan struktur dokumen akademik." Salah satu temuan utama adalah ketidaksesuaian font dan spasi pada ijazah dengan standar pencetakan yang digunakan UGM pada tahun 1980-an. Mereka juga menyoroti bentuk tanda tangan pejabat kampus yang tercetak di ijazah Jokowi yang dinilai tidak sesuai dengan arsip resmi.


Dr. Rismon menambahkan bahwa algoritma pemrosesan citra (image processing) yang mereka gunakan berhasil mendeteksi keberadaan pola duplikasi dalam stempel ijazah, sesuatu yang sangat jarang ditemukan dalam dokumen resmi. Ini menunjukkan kemungkinan penggunaan software editing dalam pembuatan dokumen tersebut.


Roy menekankan bahwa semua temuan tersebut telah dituangkan dalam bentuk laporan teknis lengkap, termasuk bukti visual dan simulasi perbandingan antara ijazah Jokowi dengan ijazah lulusan UGM lain pada tahun yang sama. Mereka juga membawa serta saksi ahli yang bisa mendukung klaim-klaim teknis tersebut bila diminta keterangannya.


Kritik terhadap Prosedur Bareskrim

Selain paparan teknis, Roy Suryo dan TPUA juga menyampaikan kritik tajam terhadap prosedur penanganan kasus oleh pihak kepolisian. Mereka mempertanyakan mengapa gelar perkara tidak dilakukan sejak awal ketika laporan masyarakat pertama kali diajukan. Mereka juga menyayangkan keputusan penyidik yang menyimpulkan keaslian dokumen tanpa memanggil para pelapor atau ahli yang kompeten di bidangnya.


Menurut Eggy Sudjana, salah satu pengacara senior TPUA, hal ini menunjukkan ada ketimpangan dalam proses penegakan hukum yang seharusnya berpihak pada transparansi dan kebenaran ilmiah.


“Ini bukan soal menyerang pribadi atau jabatan, tapi soal menjunjung tinggi keadilan. Bila ada data dan fakta yang patut didalami, maka tugas institusi hukum adalah memfasilitasi, bukan mengabaikan,” tegas Eggy di hadapan wartawan.


Respon Publik dan Dampak Politik

Polemik soal ijazah Jokowi sebenarnya bukan isu baru, namun kembali mencuat sejak pertengahan 2024 setelah beberapa tokoh dan aktivis menyuarakan kembali keraguan mereka atas keaslian dokumen pendidikan mantan presiden tersebut. Isu ini pun dengan cepat menyebar di media sosial dan memicu debat panas di ruang publik.


Sebagian kalangan menilai bahwa isu ini bernuansa politik dan sengaja dimunculkan untuk menggoyang stabilitas pemerintahan pasca lengsernya Jokowi dari jabatan presiden. Namun, bagi pihak seperti TPUA dan Roy Suryo, ini adalah murni bentuk pengejaran terhadap transparansi dan rekam jejak pejabat publik, tanpa ada muatan politik tertentu.


Publik pun terbelah. Ada yang menilai bahwa pembuktian terhadap isu ini penting untuk membersihkan ruang politik dari hoaks dan fitnah. Tapi ada pula yang menganggap isu ini sudah basi dan tidak relevan untuk diangkat kembali di masa pemerintahan baru.


Penutup: Menanti Langkah Lanjutan Bareskrim

Dengan digelarnya perkara khusus ini, kini bola ada di tangan Bareskrim. Apakah penyidik akan membuka kembali kasus ini berdasarkan temuan teknis yang disampaikan Roy Suryo dan tim, atau tetap pada kesimpulan lama bahwa ijazah Jokowi adalah sah dan asli?


Roy sendiri menyatakan bahwa apa pun hasilnya, ia telah menjalankan tugasnya sebagai warga negara dan ahli telematika untuk menyampaikan kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Ia berharap, ke depan aparat penegak hukum bisa lebih terbuka dan mengedepankan proses pembuktian yang objektif serta bebas dari tekanan politik.


“Yang kami bawa adalah data dan ilmu, bukan sentimen pribadi,” pungkas Roy.


Waktu akan menjawab apakah temuan-temuan ini akan membuka babak baru dalam kontroversi panjang seputar dokumen akademik Jokowi, atau justru akan kembali terkubur oleh arus politik dan opini publik yang terus bergerak. Yang jelas, publik kini menanti bagaimana respons Bareskrim setelah mendengar langsung pemaparan dari para ahli hari ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama