Dedi Mulyadi Buka Suara soal Bansos di Jabar yang Diduga Dipakai Judi Online
Isu penyelewengan bantuan sosial (bansos) kembali mencuat di Jawa Barat. Kali ini, sorotan publik tertuju pada laporan mengejutkan bahwa hampir 50 ribu penerima bansos di provinsi tersebut terindikasi menyalahgunakan dana bantuan untuk berjudi secara online. Menanggapi hal ini, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, akhirnya angkat bicara dan memberikan penegasan sekaligus menawarkan solusi komprehensif agar masalah serupa tidak terus berulang di masa mendatang.
Fenomena bansos yang beralih fungsi ini seolah memperlihatkan bahwa ada celah besar dalam mekanisme distribusi maupun dalam pengawasan. Padahal, program bantuan tersebut sejatinya dirancang untuk meringankan beban masyarakat miskin, terutama kelompok yang tidak mampu bekerja karena keterbatasan usia atau kondisi fisik. Dedi menilai kasus ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pendataan sekaligus pola penyaluran bantuan.
Bansos dan Persoalan Penyalahgunaan
Bansos adalah jaring pengaman sosial yang dirancang untuk membantu masyarakat yang paling membutuhkan. Namun, kenyataannya di lapangan tidak semua penerima benar-benar termasuk kategori tersebut. Dedi Mulyadi menegaskan, bansos tidak semestinya menyasar kelompok usia produktif yang sejatinya masih bisa mencari penghasilan sendiri.
Ia menilai, jika masyarakat produktif tetap menerima bantuan, potensi penyalahgunaan semakin besar. Laporan adanya dana bansos yang berakhir di meja judi online hanya mempertegas bahwa seleksi penerima memang masih jauh dari sempurna. Alih-alih membantu keluar dari jerat kemiskinan, bantuan yang tidak tepat sasaran justru berpotensi melanggengkan gaya hidup konsumtif dan merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Lebih jauh, kasus ini juga memperlihatkan lemahnya pengawasan. Banyak keluarga yang seharusnya berhak justru terlewat, sementara yang masih bisa bekerja malah menerima bantuan. Akibatnya, timbul rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.
Kecemburuan Sosial yang Muncul
Menurut Dedi, penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran bukan hanya soal pemborosan anggaran negara, tetapi juga memicu kecemburuan sosial. Bayangkan, seorang lansia yang sudah renta dan tidak memiliki penghasilan tetap harus menyaksikan tetangganya yang masih muda dan sehat justru mendapatkan bantuan. Kondisi ini bisa melahirkan ketegangan sosial yang berbahaya di tingkat komunitas.
Ketika masyarakat mulai merasa bahwa program pemerintah tidak adil, kepercayaan terhadap negara ikut terkikis. Program bansos yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan sosial justru bisa berubah menjadi pemicu konflik horizontal. Karena itulah, Dedi menekankan pentingnya evaluasi total dalam pendataan penerima.
Evaluasi Data sebagai Kunci
Dalam pandangan Gubernur Jawa Barat ini, masalah utama terletak pada proses pendataan. Selama ini, pendataan penerima bansos sering dilakukan oleh petugas dari luar wilayah yang tidak benar-benar memahami kondisi masyarakat setempat. Akibatnya, banyak data yang tidak akurat, bahkan cenderung bias.
Dedi mendorong agar Kementerian Sosial melakukan pendataan ulang secara menyeluruh dengan melibatkan masyarakat lokal. Aparat desa, RT, RW, hingga tokoh masyarakat yang mengetahui kondisi warganya lebih layak dilibatkan. Dengan demikian, potensi salah sasaran dapat ditekan.
Bagi Dedi, peran masyarakat dalam mendata bukan sekadar teknis, melainkan bentuk partisipasi yang memperkuat rasa memiliki. Masyarakat tidak hanya menjadi penerima kebijakan, tetapi juga ikut terlibat dalam memastikan bantuan benar-benar jatuh ke tangan yang membutuhkan.
Regulasi Bertingkat untuk Legitimasi
Lebih lanjut, Dedi menawarkan gagasan tentang mekanisme regulasi bertingkat dalam menentukan warga miskin penerima bantuan. Ia menyarankan agar proses penetapan dilakukan mulai dari tingkat desa, kemudian ditetapkan dalam peraturan desa. Selanjutnya, data tersebut diverifikasi di tingkat kabupaten/kota, hingga akhirnya diperkuat di tingkat provinsi melalui peraturan gubernur.
Sistem bertingkat ini, menurutnya, akan memperkuat legitimasi pendataan dan menutup peluang manipulasi. Jika penetapan warga miskin sudah tertuang dalam regulasi resmi di tiap tingkatan, maka prosesnya akan lebih transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun sosial.
Model ini juga memungkinkan adanya pengawasan yang lebih ketat dari berbagai pihak. Setiap tingkatan pemerintahan punya peran, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bisa seenaknya menentukan penerima bansos tanpa kontrol dari lapisan lain.
Bansos dan Aktivitas Produktif
Menariknya, Dedi tidak hanya berhenti pada perbaikan sistem data dan regulasi. Ia juga menekankan pentingnya mengubah pola pikir dalam program bantuan. Menurutnya, bansos seharusnya tidak hanya berupa uang tunai atau sembako, tetapi juga bisa dikaitkan dengan aktivitas produktif.
Ia mencontohkan, penerima bantuan—khususnya kelompok lansia—bisa diarahkan untuk terlibat dalam kegiatan sederhana seperti mengelola sampah di lingkungan sekitar, memotong rumput di fasilitas umum, atau aktivitas ringan lainnya. Tujuannya bukan untuk membebani, melainkan untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka.
Dengan cara ini, penerima bansos tidak hanya pasif menunggu bantuan, melainkan tetap merasa bermanfaat bagi komunitasnya. Kehadiran mereka tetap bernilai, meski usia tidak lagi muda. Pola ini sekaligus mencegah penerima bantuan terjebak dalam sikap apatis atau ketergantungan penuh pada negara.
Judi Online sebagai Ancaman Serius
Kasus bansos yang dipakai untuk judi online memperlihatkan betapa seriusnya ancaman perjudian digital di Indonesia. Judi online bukan hanya soal kerugian finansial pribadi, tetapi juga memiliki dampak sosial luas. Dana yang seharusnya menopang kebutuhan dasar justru habis di meja virtual.
Lebih buruk lagi, judi online seringkali menjerat korban ke dalam siklus utang. Banyak yang tergoda untuk terus bermain demi menutup kerugian sebelumnya. Pada titik tertentu, mereka bisa terjebak dalam lingkaran yang merusak kehidupan rumah tangga, kesehatan mental, hingga stabilitas sosial.
Dalam konteks bansos, penyalahgunaan ini jelas memprihatinkan. Negara menyediakan dana dengan tujuan mulia, tetapi sebagian penerima justru menjadikannya bahan taruhan. Hal ini menegaskan perlunya pengawasan ketat, edukasi digital, serta sanksi yang lebih tegas bagi pelaku maupun pihak yang memfasilitasi.
Tantangan Pemerintah
Kasus ini juga menggambarkan tantangan besar pemerintah dalam menyalurkan bansos di era digital. Di satu sisi, kebutuhan untuk membantu masyarakat miskin tetap mendesak. Di sisi lain, risiko penyalahgunaan semakin beragam, mulai dari pemalsuan data, konsumtif berlebihan, hingga ketergantungan pada judi online.
Pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara kecepatan distribusi dan ketelitian pendataan. Teknologi digital seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki sistem, misalnya melalui integrasi data kependudukan, pemantauan transaksi penerima, hingga sistem pelaporan partisipatif. Dengan begitu, bansos tidak lagi menjadi ladang penyelewengan, melainkan benar-benar menjadi alat pemerataan sosial.
Menjaga Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, keberhasilan program bansos bukan hanya soal angka penerima atau besarannya, melainkan juga soal kepercayaan publik. Ketika masyarakat yakin bahwa bansos disalurkan secara adil dan tepat sasaran, maka program ini akan mendapat dukungan luas. Sebaliknya, jika kasus penyalahgunaan terus terulang, maka skeptisisme akan semakin menguat.
Dedi Mulyadi tampak memahami hal ini. Dengan menekankan perbaikan data, regulasi bertingkat, dan kegiatan produktif, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bansos bisa dikelola lebih baik. Masyarakat miskin tetap terbantu, sementara mereka yang masih produktif diarahkan untuk mandiri.
Kesimpulan
Kasus bansos di Jawa Barat yang diduga dipakai untuk judi online membuka mata banyak pihak tentang pentingnya perbaikan sistem secara menyeluruh. Tidak cukup hanya menyalurkan bantuan, pemerintah harus memastikan penerima benar-benar sesuai kriteria.
Dedi Mulyadi menawarkan solusi yang cukup komprehensif: evaluasi ulang data dengan melibatkan masyarakat lokal, penerapan regulasi bertingkat untuk memperkuat legitimasi, serta mendorong penerima bansos untuk tetap aktif melalui kegiatan produktif.
Jika langkah-langkah ini benar-benar dijalankan, maka program bansos bisa kembali ke jalur semestinya, yaitu menjadi penopang bagi mereka yang paling membutuhkan, bukan sekadar dana tambahan yang berakhir di meja judi online.
