Demo Besar di Jakarta, Gibran Imbau Masyarakat Tidak Terpancing Hoaks

 

Demo Besar di Jakarta, Gibran Imbau Masyarakat Tidak Terpancing Hoaks

Gelombang demonstrasi besar yang mengguncang Jakarta pada akhir Agustus 2025 menjadi perhatian publik luas. Ribuan buruh, mahasiswa, pengemudi ojek daring, hingga masyarakat umum turun ke jalan menyuarakan berbagai tuntutan sosial dan ekonomi. Aksi yang semula dirancang sebagai gerakan buruh berubah menjadi unjuk rasa massal yang melibatkan banyak elemen. Di tengah situasi yang memanas, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengimbau masyarakat agar tidak mudah terpancing berita bohong dan tetap menjaga ketenangan.



Imbauan tersebut disampaikan Gibran dalam kesempatan berbeda, saat menghadiri pembukaan Musyawarah Pelayanan (Mupel) VII Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) 2025 di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 28 Agustus 2025. Di hadapan jemaat, ia menekankan pentingnya menyelesaikan gesekan kecil sejak dini agar tidak berubah menjadi konflik besar. Lebih jauh, Gibran meminta masyarakat untuk selalu mengutamakan dialog dan keterlibatan lembaga lintas agama, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dalam menjaga persatuan.

Pesan untuk Tidak Terjebak Hoaks

Salah satu poin utama yang disoroti Gibran adalah bahaya penyebaran informasi palsu di tengah situasi yang sedang memanas. Ia menegaskan, masyarakat sebaiknya tidak langsung percaya terhadap setiap informasi yang beredar, terutama di media sosial dan grup WhatsApp. Menurutnya, langkah bijak adalah melakukan verifikasi lebih dulu sebelum membagikan kepada orang lain.

“Jangan langsung share ke WA group, harus kita sharing dulu,” demikian pesan Gibran. Ungkapan sederhana tersebut menyiratkan pentingnya kesadaran kolektif dalam memilah informasi, terutama saat isu-isu sensitif terkait demo besar sedang ramai diperbincangkan.

Pernyataan ini sejalan dengan fenomena yang kerap terjadi setiap kali demonstrasi besar berlangsung di ibu kota. Berbagai narasi, foto, dan video kerap beredar tanpa klarifikasi, yang berpotensi memperkeruh keadaan. Dengan menekankan literasi digital, Gibran mencoba menanamkan sikap kritis agar masyarakat tidak mudah terprovokasi.

Gelombang Tuntutan dari Buruh

Aksi unjuk rasa di Jakarta pada 29 Agustus 2025 diawali oleh gerakan buruh yang mengusung sejumlah tuntutan besar. Di antaranya adalah penolakan sistem outsourcing, penghentian praktik upah murah, serta pembentukan satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, para buruh juga mendesak adanya reformasi pajak perburuhan, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan tanpa konsep Omnibus Law, serta pengesahan RUU Perampasan Aset.

Isu pemberantasan korupsi dan revisi UU Pemilu turut mewarnai agenda tuntutan mereka. Kompleksitas tuntutan ini menunjukkan betapa luasnya spektrum persoalan yang dihadapi kelompok buruh, mulai dari isu kesejahteraan langsung hingga tata kelola pemerintahan.

Said Iqbal, Presiden Partai Buruh sekaligus pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), bahkan menegaskan bahwa jika tuntutan tidak direspons pemerintah, aksi dapat berkembang menjadi mogok nasional. Dalam skenario itu, jutaan buruh di berbagai sektor akan berhenti berproduksi, menimbulkan dampak besar terhadap perekonomian nasional.

Aksi yang Meluas Menjadi Gerakan Massa

Seiring berjalannya waktu, unjuk rasa tidak hanya melibatkan buruh. Elemen lain seperti pengemudi ojek daring (ojol), mahasiswa, hingga masyarakat umum turut bergabung. Aksi meluas ke berbagai titik strategis di Jakarta, mulai dari Gedung DPR, Mako Brimob, hingga Mapolda Metro Jaya. Kehadiran massa dalam jumlah besar dengan latar belakang tuntutan yang beragam menjadikan demonstrasi kali ini sebagai salah satu yang paling mencolok dalam beberapa tahun terakhir.

Eskalasi aksi membuat situasi di lapangan tidak lagi sekadar penyampaian aspirasi damai. Suasana tegang beberapa kali mewarnai jalannya unjuk rasa. Di tengah dorongan massa yang terus membesar, muncul pula insiden-insiden yang memantik perhatian publik.

Tragedi yang Menyentuh Publik

Puncak duka terjadi ketika seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan yang baru berusia 21 tahun, tewas akibat terlindas kendaraan taktis (rantis) milik kepolisian. Rantis tersebut melaju dengan kecepatan tinggi saat melintas di lokasi demonstrasi. Peristiwa ini sontak menjadi simbol tragis dari rentetan aksi yang semula ditujukan untuk menyuarakan aspirasi.

Kabar meninggalnya Affan menyebar cepat dan memicu gelombang empati. Banyak pihak menyoroti pentingnya penanganan unjuk rasa dengan lebih humanis dan mengutamakan keselamatan warga. Tragedi ini sekaligus memperlihatkan betapa mudahnya sebuah aksi yang awalnya terfokus pada tuntutan buruh bertransformasi menjadi peristiwa kemanusiaan yang mengguncang emosi publik.

Pesan Gibran di Tengah Ketegangan

Dalam konteks inilah imbauan Gibran memperoleh relevansinya. Ia mengingatkan bahwa masyarakat sebaiknya tetap berpikir jernih, tidak mudah terprovokasi, dan selalu mengedepankan dialog. Dengan mengajak warga memverifikasi setiap informasi, Gibran menekankan pentingnya peran masyarakat sebagai filter dari arus deras informasi yang beredar.

Seruan agar tidak terpancing hoaks bukan hanya relevan untuk mencegah kepanikan, tetapi juga sebagai upaya menjaga persatuan bangsa. Ketika informasi yang salah dibiarkan berkembang, risiko konflik horizontal dapat meningkat. Itulah sebabnya Gibran menekankan perlunya FKUB dan dialog lintas agama untuk ikut terlibat dalam menjaga keharmonisan sosial.

Antara Aspirasi dan Stabilitas Nasional

Demonstrasi besar di Jakarta mencerminkan dinamika demokrasi di Indonesia, di mana rakyat memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat dan memperjuangkan haknya. Namun, aksi tersebut juga menghadirkan tantangan serius dalam menjaga stabilitas keamanan dan politik.

Tuntutan buruh dan kelompok masyarakat lainnya tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat mereka menyangkut kepentingan ekonomi, hukum, dan tata kelola pemerintahan. Di sisi lain, potensi disinformasi yang menyertai aksi massa besar dapat mengancam persatuan jika tidak diantisipasi dengan baik.

Di sinilah peran pemimpin, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangat dibutuhkan. Imbauan Gibran untuk tetap waspada terhadap berita bohong dan selalu mengedepankan dialog menjadi bagian dari strategi lebih luas untuk meredam ketegangan.

Jalan Panjang Menghadapi Ketidakpuasan

Demo besar ini hanyalah satu fragmen dari perjalanan panjang demokrasi Indonesia dalam mengelola ketidakpuasan publik. Dari tahun ke tahun, berbagai isu perburuhan, korupsi, hingga tata kelola politik menjadi bahan bakar utama aksi massa. Namun, setiap kali aksi muncul, tantangan terbesarnya selalu sama: bagaimana aspirasi dapat tersampaikan tanpa menimbulkan perpecahan atau korban jiwa.

Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan seakan menjadi pengingat bahwa unjuk rasa bukan sekadar ruang ekspresi politik, tetapi juga arena yang penuh risiko. Untuk itu, pesan Gibran tentang literasi informasi dan penyelesaian konflik melalui jalur damai perlu digarisbawahi.

Penutup

Gelombang demonstrasi besar di Jakarta akhir Agustus 2025 menjadi cermin kompleksitas kehidupan demokrasi Indonesia. Di satu sisi, rakyat menuntut perubahan dan perbaikan nasib, terutama dari kalangan buruh dan masyarakat bawah. Di sisi lain, pemerintah menghadapi tantangan untuk menanggapi tuntutan tersebut tanpa kehilangan kendali terhadap stabilitas.

Dalam pusaran ketegangan itu, imbauan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka agar masyarakat tidak terpancing hoaks dan selalu memverifikasi informasi menjadi suara yang penting. Dengan literasi digital, dialog lintas agama, serta penyelesaian gesekan sejak dini, diharapkan masyarakat Indonesia dapat melewati masa-masa sulit tanpa terpecah belah.

Demo besar mungkin akan terus hadir di masa depan, namun sikap tenang, kritis, dan terbuka terhadap dialog adalah kunci menjaga bangsa ini tetap utuh.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama