Kasus pelanggaran hak cipta yang menyeret nama PT Mitra Bali Sukses, pengelola brand kuliner populer Mie Gacoan, akhirnya mencapai titik akhir. Persoalan yang sempat mengundang perhatian publik ini diselesaikan secara damai setelah melalui proses mediasi intensif yang melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), serta Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi).
Dalam pertemuan mediasi yang berlangsung pada Jumat, 8 Agustus 2025, di Kantor Wilayah Kemenkumham Bali, kedua belah pihak sepakat menutup sengketa dengan pembayaran royalti sebesar Rp 2.264.520.000. Pembayaran ini akan dilakukan melalui LMKN, yang berfungsi sebagai regulator resmi sistem pengelolaan royalti musik di Indonesia.
Awal Mula Persoalan
Kasus ini bermula dari laporan Selmi terhadap PT Mitra Bali Sukses yang dianggap memutar lagu-lagu di seluruh gerai Mie Gacoan tanpa membayar royalti sesuai ketentuan hukum. Selmi, sebagai salah satu LMK yang berada di bawah pengawasan LMKN, memiliki kewenangan menagih royalti dari berbagai pelaku usaha yang menggunakan musik secara komersial, seperti restoran, kafe, dan pusat hiburan.
Laporan tersebut menempatkan Direktur PT Mitra Bali Sukses, I Gusti Ayu Sasih Ira Pramita, sebagai tersangka pelanggaran hak cipta. Tuduhan ini berlandaskan pada Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang mengatur sanksi bagi pelaku yang memanfaatkan karya cipta tanpa izin dan tanpa membayar royalti.
Sejak laporan itu mencuat, kasus ini menjadi sorotan publik. Bukan hanya karena menyangkut salah satu merek kuliner terbesar di Indonesia, tetapi juga karena menyentuh isu yang sering luput dari perhatian: kewajiban membayar royalti musik di sektor komersial.
Proses Mediasi dan Restorative Justice
Ketegangan yang sempat terjadi antara pihak Mie Gacoan dan Selmi akhirnya diredam melalui mekanisme restorative justice. Proses ini difasilitasi langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, dengan dukungan dari Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Bali.
Restorative justice, dalam konteks ini, bertujuan mempertemukan pihak yang dirugikan dengan pihak yang dilaporkan untuk mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak, tanpa harus melanjutkan perkara ke pengadilan. Upaya ini sejalan dengan semangat penyelesaian sengketa secara musyawarah, sekaligus mengurangi beban proses hukum formal.
Dalam mediasi, Selmi dan PT Mitra Bali Sukses berhasil mencapai kesepakatan. Pihak Mie Gacoan mengakui kewajiban membayar royalti dan setuju melunasinya sesuai hasil perhitungan bersama. Jumlah Rp 2,2 miliar yang disepakati mencakup royalti dari seluruh outlet Mie Gacoan di berbagai daerah, termasuk Jawa, Bali, Sumatera, dan Lombok, untuk periode 2022 hingga akhir 2025.
Rincian Kesepakatan Pembayaran
Nominal Rp 2.264.520.000 bukan angka sembarangan. Angka ini dihitung berdasarkan tarif resmi yang diatur oleh LMKN, mengacu pada durasi, frekuensi, dan cakupan penggunaan musik di seluruh outlet Mie Gacoan. Perhitungannya juga mempertimbangkan periode tunggakan yang mencapai lebih dari tiga tahun.
Pembayaran royalti ini dijadwalkan selesai pada 8 Agustus 2025 pukul 15.00 WITA. Dana tersebut akan disalurkan melalui LMKN dan didistribusikan kepada para pencipta lagu atau pemegang hak cipta yang lagunya diputar di gerai Mie Gacoan.
Dengan penyelesaian ini, status tersangka yang sebelumnya disematkan kepada direktur perusahaan akan dicabut, mengakhiri proses hukum yang sempat berjalan.
Pernyataan dari Pihak-Pihak Terkait
Direktur PT Mitra Bali Sukses, I Gusti Ayu Sasih Ira Pramita, menyampaikan rasa terima kasih kepada Menteri Hukum dan HAM, LMKN, dan Selmi atas fasilitasi yang diberikan. Menurutnya, kesepakatan ini bukan semata-mata tentang angka, tetapi tentang membangun hubungan baik dan memahami kewajiban hukum yang berlaku.
"Yang terpenting adalah kita bisa menyelesaikan ini dengan damai dan saling menghormati hak cipta," ungkapnya. Ia juga menegaskan komitmen perusahaan untuk mematuhi aturan pembayaran royalti di masa mendatang.
Sementara itu, pihak Selmi menilai penyelesaian ini menjadi contoh positif bagi pelaku usaha lain. Mereka berharap, kasus ini dapat meningkatkan kesadaran bahwa musik adalah karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan layak mendapatkan apresiasi finansial dari pihak yang memanfaatkannya secara komersial.
Peran LMKN dalam Sistem Royalti
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memegang peran sentral dalam penyelesaian kasus ini. LMKN dibentuk pemerintah sebagai regulator pengelolaan royalti musik secara nasional, memastikan bahwa hak-hak para pencipta lagu, komposer, dan pemegang hak terkait terlindungi.
LMKN mengawasi kerja berbagai LMK, termasuk Selmi, yang bertugas mengumpulkan royalti dari pengguna musik. Royalti yang terkumpul kemudian didistribusikan kepada para pencipta dan pemegang hak sesuai proporsi pemutaran atau penggunaan karya mereka.
Kasus Mie Gacoan ini menjadi bukti bahwa peran LMKN tidak hanya administratif, tetapi juga strategis dalam menjembatani kepentingan pelaku usaha dengan para pemilik karya cipta.
Dampak Bagi Industri dan Pelaku Usaha
Penyelesaian damai ini membawa beberapa implikasi penting. Pertama, bagi industri kuliner, kasus ini menjadi pengingat bahwa musik yang diputar di area publik bukanlah sekadar hiburan gratis. Setiap lagu yang digunakan memiliki pemilik hak cipta yang berhak mendapatkan kompensasi.
Kedua, bagi para pelaku usaha, kesadaran hukum terkait hak cipta menjadi semakin penting. Mengabaikan kewajiban membayar royalti bukan hanya berpotensi menimbulkan kerugian finansial akibat denda atau tuntutan hukum, tetapi juga dapat mencoreng reputasi merek.
Ketiga, bagi para pencipta lagu, kasus ini menjadi kabar baik karena memastikan hak mereka tetap dihargai. Dengan adanya pembayaran royalti, karya mereka mendapatkan nilai ekonomi yang layak, sehingga mendorong terciptanya ekosistem musik yang lebih sehat.
Preseden untuk Kasus Serupa
Kasus Mie Gacoan bukan yang pertama di Indonesia, namun menjadi salah satu yang terbesar dalam hal nilai pembayaran royalti. Nilai yang mencapai lebih dari Rp 2,2 miliar ini dapat menjadi preseden bagi penyelesaian sengketa hak cipta musik di masa depan.
Penyelesaian melalui restorative justice juga menunjukkan bahwa sengketa semacam ini tidak selalu harus berakhir di meja hijau. Dengan komunikasi yang terbuka dan kemauan untuk memenuhi kewajiban, konflik dapat diselesaikan dengan cara yang lebih cepat dan efisien.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Dari kasus ini, ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik:
-
Pahami aturan sebelum menggunakan karya orang lain. Setiap pelaku usaha yang ingin menggunakan musik di area komersial harus memahami ketentuan hukum terkait royalti.
-
Bangun kerja sama dengan LMK atau LMKN. Langkah ini tidak hanya melindungi dari tuntutan hukum, tetapi juga menunjukkan apresiasi terhadap industri kreatif.
-
Penyelesaian damai menguntungkan semua pihak. Sengketa yang diselesaikan tanpa pengadilan menghemat waktu, biaya, dan menjaga hubungan baik antar pihak.
Penutup
Kasus pelanggaran hak cipta yang melibatkan Mie Gacoan akhirnya berakhir dengan kesepakatan damai dan pembayaran royalti Rp 2,2 miliar. Keputusan ini menjadi contoh nyata bahwa penghargaan terhadap hak cipta adalah bagian dari tanggung jawab sosial dan hukum yang harus dipegang oleh setiap pelaku usaha.
Lebih dari sekadar angka, penyelesaian ini menjadi sinyal kuat bahwa perlindungan karya intelektual di Indonesia semakin diperhatikan, dan bahwa kerja sama antara pelaku usaha, lembaga pengelola royalti, serta pemerintah dapat menciptakan solusi yang adil bagi semua pihak.
