Kubu Jokowi Bantah Laporkan Abraham Samad soal Ijazah, Pemeriksaan di Polda Atas Inisiatif Polisi

 Kubu Jokowi Bantah Laporkan Abraham Samad soal Ijazah, Pemeriksaan di Polda Atas Inisiatif Polisi


Isu dugaan ijazah palsu yang menimpa Joko Widodo kembali menyeret dinamika politik nasional ke dalam pusaran sorotan publik. Kali ini, nama mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, ikut muncul ke permukaan setelah dirinya menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Namun, munculnya Samad dalam posisi terlapor ternyata bukan atas inisiatif kubu Jokowi, melainkan murni hasil dari langkah penyidik kepolisian. Penegasan ini disampaikan langsung oleh tim hukum Jokowi yang menegaskan bahwa dalam laporan resmi, nama Abraham Samad sama sekali tidak disebut.



Pernyataan ini sekaligus menepis tudingan bahwa mantan presiden yang kini menjadi pihak pelapor secara aktif mendorong Abraham Samad untuk diperiksa sebagai terlapor. Menurut pengacara Jokowi, Rivai Kusumanegara, kepatuhan kliennya terhadap proses hukum selama ini justru menunjukkan bahwa tidak ada intervensi yang mengarah kepada siapa pun. Penyidik dianggap memiliki kewenangan penuh untuk menilai siapa saja yang layak dimintai keterangan, termasuk dalam kasus ini.


Laporan Jokowi dan Fokus Awal Perkara


Kasus ini bermula dari laporan yang dilayangkan oleh Jokowi ke Polda Metro Jaya terkait dugaan fitnah dan penghinaan. Laporan itu ditujukan untuk menindaklanjuti berbagai tudingan publik tentang keabsahan ijazah yang dimilikinya, tuduhan yang sejak lama menjadi polemik di ruang digital. Namun, menariknya, laporan tersebut tidak pernah menyebut secara spesifik nama Abraham Samad.


Rivai Kusumanegara menegaskan bahwa laporan hanya berisi peristiwa dugaan fitnah, tanpa menunjuk individu tertentu. Hal ini penting, sebab pada akhirnya publik melihat nama Samad muncul sebagai terlapor, seakan-akan langsung dilaporkan oleh Jokowi. Padahal, menurut Rivai, proses penetapan Abraham Samad dalam pemeriksaan merupakan langkah independen kepolisian yang menilai adanya keterkaitan dengan konten yang diproduksi oleh Samad di ruang publik.


Inisiatif Polisi, Bukan Kubu Jokowi


Keterlibatan Abraham Samad dalam kasus ini terjadi ketika penyidik menemukan konten podcast yang ia buat, membahas isu ijazah Jokowi dengan menghadirkan sejumlah narasumber. Podcast tersebut dianggap relevan untuk didalami karena menyangkut substansi laporan yang diajukan oleh Jokowi.


Rivai menjelaskan bahwa munculnya nama Samad lebih disebabkan oleh hasil penyelidikan, bukan karena campur tangan kubu pelapor. "Jokowi tidak pernah menyebut Abraham Samad dalam laporannya," tegas Rivai. Penyidik disebut memiliki otoritas untuk memperluas lingkup pemeriksaan terhadap siapa pun yang dianggap memiliki keterlibatan, apalagi ketika seseorang aktif menyampaikan opini publik terkait isu inti perkara.


Dalam perspektif hukum, hal ini menegaskan bahwa laporan pidana tidak selalu harus disertai daftar nama terlapor. Ada kalanya laporan cukup menyebutkan peristiwa, dan penyidiklah yang kemudian menentukan siapa saja yang relevan dimintai pertanggungjawaban.


Pemeriksaan Abraham Samad


Abraham Samad akhirnya diperiksa di Polda Metro Jaya pada Rabu, 13 Agustus 2025. Dalam pemeriksaan tersebut, ia ditanyai sekitar 56 pertanyaan seputar isi podcast yang dipandunya. Podcast tersebut menampilkan diskusi dengan sejumlah tokoh, antara lain Roy Suryo, Rismon, dr. Tifa, Kurnia, dan Rizal Fadhillah. Seluruh pernyataan dalam tayangan itu kemudian dijadikan bahan penyidik untuk mengklarifikasi posisi Samad.


Pemeriksaan ini menuai sorotan publik karena dinilai berlebihan. Pasalnya, surat pemanggilan yang diterima Samad hanya menyebutkan keterangannya dibutuhkan untuk kejadian pada 22 Januari 2025. Namun, dalam praktiknya, penyidik mengajukan pertanyaan yang jauh meluas, mencakup banyak hal di luar surat resmi.


Kritik Samad atas Proses Hukum


Abraham Samad menyampaikan keberatannya setelah menjalani pemeriksaan panjang. Ia menilai bahwa langkah penyidik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam KUHAP. Menurutnya, ada ketidaksesuaian antara tempus delicti (waktu kejadian) dan locus delicti (tempat kejadian) yang tertulis dalam surat pemanggilan dengan substansi pertanyaan yang diajukan.


Samad juga menilai proses ini melanggar hak asasi manusia. Ia menyebut pemeriksaan seperti ini dapat menghadirkan efek menakut-nakuti bagi masyarakat, terutama mereka yang hendak menyampaikan kritik atau pandangan kritis di ruang publik. Baginya, demokrasi yang sehat seharusnya membuka ruang bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapat, bukan justru mempersempit ruang diskusi dengan ancaman proses hukum.


Pernyataan Samad kemudian memicu diskusi lebih luas di masyarakat, karena isu kebebasan berpendapat kembali menjadi perbincangan. Sejumlah pengamat hukum menilai bahwa polemik ini bisa menjadi preseden penting terkait sejauh mana aparat boleh memperluas lingkup pemeriksaan di luar subtansi yang tercantum dalam surat pemanggilan.


Kepatuhan Jokowi dan Kontras dengan Samad


Di sisi lain, Rivai Kusumanegara menekankan bahwa Jokowi selama ini selalu menunjukkan kepatuhan terhadap hukum. Bahkan ketika ia menjadi pihak yang dilaporkan, Jokowi tidak pernah absen memenuhi panggilan penyidik. Hal ini dipandang kontras dengan sikap Abraham Samad yang sempat menolak hadir dalam beberapa kali panggilan, sehingga penyidik akhirnya menetapkannya sebagai terlapor.


Menurut Rivai, kepatuhan hukum adalah hal penting yang menunjukkan sikap negarawan. Ia menegaskan bahwa Jokowi tidak memiliki kepentingan pribadi untuk menyeret nama siapa pun, melainkan hanya ingin menegakkan keadilan atas tuduhan fitnah yang dialamatkan kepadanya.


Dimensi Politik dan Demokrasi


Kasus ini tidak bisa dilepaskan dari dimensi politik yang mengitarinya. Abraham Samad, sebagai mantan Ketua KPK, memiliki reputasi sebagai figur independen yang kritis terhadap pemerintah. Kehadirannya dalam kasus ini memunculkan spekulasi bahwa proses hukum bisa saja memiliki implikasi politik, meskipun kubu Jokowi dengan tegas membantahnya.


Bagi sebagian masyarakat, pemeriksaan Samad dianggap sebagai bentuk peringatan keras terhadap tokoh publik agar berhati-hati dalam berbicara. Namun, bagi sebagian lainnya, ini merupakan bukti bahwa hukum berlaku kepada siapa pun tanpa pandang bulu, termasuk mereka yang pernah berada di lingkaran kekuasaan.


Demokrasi Indonesia, yang sudah memasuki usia lebih dari dua dekade sejak reformasi, kembali diuji. Pertarungan narasi antara kebebasan berpendapat dan penegakan hukum kini menjadi perbincangan hangat. Banyak pihak berharap agar kasus ini tidak menimbulkan preseden buruk yang justru mempersempit ruang demokrasi.


Perspektif Hukum: Peristiwa vs. Terlapor


Secara hukum, laporan pidana memang dapat dibuat tanpa menunjuk individu tertentu. Cukup disebutkan peristiwa dugaan tindak pidana, kemudian penyidik yang akan menentukan siapa saja yang relevan. Hal inilah yang menimbulkan posisi ambigu dalam kasus Abraham Samad.


Di satu sisi, ia tidak pernah disebut dalam laporan awal. Namun, di sisi lain, pernyataan publiknya dalam podcast dinilai cukup relevan untuk diperiksa. Hal ini menunjukkan fleksibilitas hukum acara, namun juga membuka ruang polemik tentang potensi pelebaran makna laporan.


Dalam konteks demokrasi, hal seperti ini harus diatur dengan cermat. Jika tidak, potensi kriminalisasi terhadap tokoh kritis bisa saja meningkat, sesuatu yang jelas berlawanan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.


Penutup: Menunggu Arah Proses Hukum


Kasus yang melibatkan Abraham Samad dan laporan ijazah Jokowi masih jauh dari kata selesai. Proses hukum akan terus berjalan, dan publik menanti bagaimana kepolisian menyikapi berbagai keberatan yang diajukan Samad. Sementara itu, kubu Jokowi tetap konsisten menyatakan bahwa mereka tidak pernah melaporkan nama Samad secara langsung.


Klarifikasi ini menjadi penting agar publik tidak salah persepsi. Bahwa apa yang terjadi pada Samad adalah bagian dari proses penyelidikan kepolisian, bukan hasil intervensi politik dari pihak pelapor. Namun, tentu saja, perjalanan kasus ini akan terus memengaruhi persepsi publik terhadap iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.


Pada akhirnya, yang diharapkan masyarakat adalah tegaknya hukum secara adil tanpa merugikan demokrasi. Proses hukum harus berjalan transparan, obyektif, dan tidak menimbulkan kesan sebagai alat untuk membungkam kritik. Kasus ini akan menjadi catatan penting, bukan hanya dalam perjalanan hukum, tetapi juga dalam sejarah politik Indonesia di era setelah kepemimpinan Jokowi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama