Litbang Kompas: 90% Warga Jabar Dukung Dedi Mulyadi Ngonten dan Sering Turun Langsung Beri Bantuan
Popularitas seorang pemimpin tidak lagi hanya diukur dari seberapa besar program yang digulirkan secara formal atau seberapa banyak kebijakan yang diresmikan melalui jalur birokrasi. Di era digital saat ini, kedekatan dengan masyarakat justru lebih sering dibangun melalui cara-cara sederhana namun menyentuh hati, terutama lewat media sosial. Fenomena ini tergambar jelas pada sosok Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang dalam survei Litbang Kompas terbaru berhasil meraih dukungan luar biasa dari masyarakat terkait gaya komunikasinya.
Hasil survei menunjukkan lebih dari 90 persen warga Jawa Barat menyatakan dukungan terhadap aktivitas Dedi Mulyadi dalam membuat konten. Aktivitas ini dinilai berhasil menghadirkan figur seorang pemimpin yang tidak kaku, mudah dijangkau, serta mampu menyalurkan pesan dan empati secara langsung kepada masyarakat luas. Tidak hanya itu, sekitar 97 persen warga juga mendukung penuh gaya kepemimpinan Dedi yang kerap turun langsung untuk memberikan bantuan nyata kepada warga yang membutuhkan.
Artikel ini akan mengulas lebih dalam makna dari survei tersebut, bagaimana masyarakat merespons strategi komunikasi Dedi Mulyadi, serta apa implikasinya bagi pola kepemimpinan di masa depan.
Media Sosial sebagai Kanal Utama
Salah satu temuan penting dari survei Litbang Kompas adalah bagaimana masyarakat Jawa Barat lebih memilih mengakses informasi tentang pemimpinnya melalui akun pribadi media sosial, ketimbang jalur resmi pemerintahan. Dari hasil survei, tercatat bahwa 46,7 persen responden lebih sering merujuk akun media sosial Dedi Mulyadi sebagai sumber utama informasi. Angka ini mendekati persentase masyarakat yang mengandalkan media massa, yakni 58,1 persen.
Menariknya, akun resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya digunakan oleh 12 persen responden, sementara situs resmi pemerintah bahkan lebih rendah lagi, yakni 3,7 persen. Data ini memperlihatkan bahwa narasi personal jauh lebih kuat dibandingkan narasi kelembagaan. Publik lebih percaya pada suara pribadi seorang pemimpin dibandingkan suara formal institusi.
Fenomena ini mempertegas tren baru dalam komunikasi politik: pemimpin yang ingin dekat dengan masyarakat tidak cukup hanya mengandalkan corong birokrasi. Kehadiran personal di media sosial menjadi kunci membangun hubungan yang lebih intim, transparan, dan dipercaya.
Dukungan Besar pada Aksi Nyata
Selain gaya komunikasinya yang aktif di dunia maya, dukungan publik terhadap Dedi Mulyadi juga sangat besar ketika menyangkut aksi nyata di lapangan. Sebanyak 97 persen warga mendukung penuh kebiasaannya turun langsung untuk memberikan bantuan kepada masyarakat.
Dalam rincian survei, 57,3 persen menyatakan “sangat mendukung”, sementara 40,7 persen menyatakan “mendukung”. Hanya sebagian kecil yang ragu atau tidak memberikan respons. Angka dukungan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghargai tindakan konkret, bukan sekadar janji atau seremonial.
Kebiasaan seorang pemimpin mendatangi warganya secara langsung memiliki dampak psikologis yang besar. Warga merasa diperhatikan, didengar, sekaligus dihargai. Hal ini menciptakan ikatan emosional yang lebih kuat dibandingkan sekadar mendengar program pemerintah dari balik podium.
Identitas Budaya sebagai Kekuatan
Dalam aktivitasnya, Dedi Mulyadi juga kerap menonjolkan identitas budaya Sunda. Hal ini ternyata mendapat apresiasi besar dari masyarakat Jawa Barat. Survei mencatat bahwa 57,3 persen warga sangat mendukung penonjolan budaya Sunda dalam konten maupun aktivitas Dedi. Selain itu, 39 persen warga sangat mendukung karakter responsif yang ditunjukkan dalam berbagai kesempatan.
Identitas budaya ini menjadi elemen penting karena mampu membangun rasa kebersamaan dan kebanggaan lokal. Seorang pemimpin yang mampu mengakar pada nilai budaya daerah akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Budaya bukan hanya hiasan, tetapi juga medium untuk menyampaikan pesan moral, kedekatan, dan kepedulian.
Konsistensi antara Dunia Maya dan Dunia Nyata
Salah satu poin yang paling menentukan adalah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap konsistensi citra yang dibangun Dedi Mulyadi di media sosial dengan kinerja nyata di lapangan. Sebanyak 76 persen responden menyatakan percaya bahwa apa yang ditampilkan Dedi di media sosial memang sejalan dengan tindakannya sehari-hari.
Hanya 4,5 persen yang menyatakan tidak percaya, dan 2,5 persen menjawab tidak tahu. Artinya, mayoritas publik meyakini bahwa Dedi Mulyadi tidak sekadar beretorika atau membangun pencitraan kosong. Hal ini tentu menjadi modal besar dalam membangun reputasi sebagai pemimpin yang autentik.
Kepercayaan publik terhadap konsistensi ini sangat penting. Di era digital, masyarakat semakin kritis dan mudah membandingkan antara kata dan tindakan. Seorang pemimpin yang hanya pandai “ngonten” tanpa aksi nyata akan cepat kehilangan kepercayaan. Dedi Mulyadi, dalam hal ini, berhasil menjaga harmoni antara narasi digital dan bukti di lapangan.
Arti Penting bagi Model Kepemimpinan
Dari hasil survei ini, kita dapat menarik sejumlah pelajaran penting terkait model kepemimpinan yang efektif di era digital. Pertama, komunikasi personal lebih efektif daripada komunikasi kelembagaan. Figur pemimpin yang mampu menyampaikan pesan dengan gaya pribadi akan lebih cepat diterima masyarakat dibandingkan institusi formal yang terkesan kaku.
Kedua, aksi nyata tetap menjadi faktor penentu. Media sosial hanya menjadi alat, tetapi inti dari kepemimpinan adalah tindakan yang memberi dampak langsung. Turun ke lapangan, mendengarkan, dan memberi bantuan nyata terbukti memperkuat legitimasi seorang pemimpin.
Ketiga, identitas budaya dapat menjadi perekat yang kuat. Dengan mengangkat nilai-nilai lokal, seorang pemimpin tidak hanya tampil sebagai birokrat, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas yang ia pimpin.
Keempat, konsistensi antara citra digital dan realitas di lapangan menjadi fondasi utama kepercayaan. Masyarakat menuntut pemimpin yang autentik, bukan sekadar pandai memainkan narasi.
Tantangan ke Depan
Meski hasil survei menunjukkan dukungan yang sangat tinggi, tetap ada tantangan yang perlu diperhatikan. Popularitas di media sosial memang penting, namun keberlanjutan dukungan publik akan sangat tergantung pada bagaimana kebijakan dan program pembangunan dijalankan secara berkesinambungan.
Dedi Mulyadi perlu memastikan bahwa setiap aksi nyata yang ditampilkan di media sosial juga memiliki dampak struktural dalam kebijakan. Memberikan bantuan langsung memang penting, tetapi memperkuat sistem agar masyarakat tidak terus bergantung pada bantuan jauh lebih krusial.
Selain itu, dalam era digital yang sangat cepat berubah, seorang pemimpin harus mampu menjaga keseimbangan antara konten yang menarik dan substansi kebijakan yang solid. Jangan sampai media sosial hanya menjadi ajang hiburan, sementara persoalan mendasar tidak teratasi.
Kesimpulan
Survei Litbang Kompas yang menunjukkan lebih dari 90 persen dukungan terhadap aktivitas konten Dedi Mulyadi, serta 97 persen dukungan terhadap aksi turun langsung, memberikan gambaran jelas tentang apa yang diharapkan masyarakat dari seorang pemimpin.
Masyarakat mendambakan figur yang hadir bukan hanya di ruang formal, tetapi juga di ruang personal dan digital. Mereka menginginkan pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga rela turun tangan langsung membantu. Mereka menghargai pemimpin yang mengangkat budaya lokal sekaligus menjaga konsistensi antara kata dan tindakan.
Fenomena ini menjadi cermin perubahan zaman, di mana kepemimpinan bukan lagi sekadar soal program besar, tetapi juga soal kedekatan, empati, dan autentisitas. Dedi Mulyadi berhasil menunjukkan bahwa dengan menggabungkan media sosial, aksi nyata, dan identitas budaya, seorang pemimpin bisa meraih kepercayaan publik dalam skala besar.
