Saksi Mata Ungkap Kronologi Ojol Terlindas Mobil Rantis Polisi di Tengah Aksi Pejompongan
Peristiwa memilukan terjadi pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, ketika suasana demonstrasi di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, mendadak berubah menjadi mencekam. Di tengah kerumunan massa yang sejak sore hari tertahan aparat, sebuah mobil rantis milik kepolisian melaju kencang dan melindas seorang pria berjaket ojek online (ojol) hingga terkapar. Tidak berhenti di situ, kendaraan taktis tersebut juga menabrak seorang demonstran lain yang tak sempat menghindar, lalu meninggalkan lokasi begitu saja. Kesaksian warga yang menyaksikan langsung kejadian ini menimbulkan gelombang duka sekaligus amarah, sebab tragedi tersebut tak hanya melibatkan korban jiwa di kalangan demonstran, tetapi juga menyisakan trauma bagi masyarakat sekitar yang ikut terdampak.
Ketegangan Sejak Sore Hari
Menurut keterangan warga sekitar, situasi Pejompongan memang sudah memanas sejak sore. Massa demonstran disebut tertahan di lampu merah Pejompongan, tak jauh dari SPBU, ketika aparat kepolisian menutup akses jalan. Kerumunan bertahan di lokasi tersebut, sebagian besar dengan tenang, namun tensi meningkat karena blokade aparat yang menahan pergerakan. Suasana berubah tegang saat menjelang malam, ketika jumlah massa belum berkurang sementara aparat mulai memperketat penjagaan.
Di tengah suasana tersebut, hadirnya mobil rantis polisi dari arah Slipi menambah ketegangan. Kendaraan berukuran besar itu menjadi simbol kehadiran aparat dalam skala penuh, namun tak seorang pun menyangka jika dalam hitungan menit kemudian, peristiwa yang lebih dramatis akan terjadi.
Detik-Detik Terlindasnya Pengemudi Ojol
Sekitar pukul 19.25 WIB, saksi mata mengungkapkan bahwa mobil rantis tiba-tiba melaju cepat menuju arah kerumunan. Di titik itu, seorang pria berjaket ojol terlihat berada di tengah jalan. Entah karena berusaha menepi atau terjatuh sebelumnya, ia tidak sempat menghindar. Mobil besar tersebut langsung menghantam tubuhnya dan terus melaju, melindas tanpa henti.
Kejadian ini berlangsung begitu cepat, namun warga dan demonstran di sekitar lokasi sempat melihat dengan jelas bagaimana korban terseret di bawah kendaraan. Jeritan massa yang menyaksikan pun tak mampu menghentikan laju mobil. Lebih parah lagi, setelah melindas pengemudi ojol tersebut, kendaraan rantis juga mengenai seorang demonstran lain yang berada di jalur yang sama. Korban kedua pun tak luput dari hantaman keras roda baja mobil itu.
Tragisnya, alih-alih berhenti untuk memberi pertolongan, kendaraan tersebut justru melesat meninggalkan lokasi, menyisakan tubuh korban yang terkapar. Situasi pun berubah kacau balau. Massa panik, sebagian mencoba menolong, sementara yang lain berteriak marah menyaksikan tindakan yang dianggap brutal itu.
Suasana Mencekam Usai Insiden
Tak lama setelah kejadian, aparat melakukan tindakan represif untuk membubarkan massa. Gas air mata ditembakkan ke arah kerumunan, membuat suasana semakin kacau. Demonstran berlarian mencari tempat berlindung, sementara warga sipil yang tinggal di sekitar lokasi ikut terkena dampaknya. Bentrokan pun menyebar hingga ke depan Rusun Bendungan Hilir 2, wilayah permukiman padat yang tidak jauh dari lokasi utama.
Bagi warga rusun, malam itu menjadi mimpi buruk. Gas air mata yang ditembakkan ke jalanan naik hingga ke balkon unit-unit di lantai atas. Anak-anak yang sejak awal hanya menonton dari balkon mendadak batuk dan menangis, orang tua panik, dan lansia terpaksa mengungsi ke lokasi yang lebih aman. Banyak penghuni yang tidak menyangka bahwa konflik di jalan bisa merembet hingga ke rumah mereka.
Kesaksian warga menyebutkan, bau menyengat gas air mata menembus hingga ke dalam unit, membuat banyak orang harus keluar untuk menyelamatkan diri. Bagi mereka, kejadian ini bukan hanya sekadar insiden di jalanan, tetapi sudah menyentuh ranah kehidupan pribadi warga sipil yang sama sekali tidak terlibat.
Luka Kemanusiaan yang Mendalam
Peristiwa ojol terlindas mobil rantis polisi tidak sekadar menjadi insiden lalu lintas biasa, melainkan tragedi kemanusiaan yang menyisakan banyak pertanyaan. Mengapa kendaraan taktis sebesar itu melaju kencang di tengah kerumunan? Apakah ada perintah khusus, ataukah tindakan tersebut murni kesalahan individu? Yang jelas, akibatnya fatal: nyawa melayang, demonstran terluka, dan masyarakat sipil turut menjadi korban situasi represif.
Bagi pengemudi ojol yang menjadi korban pertama, kisahnya menimbulkan luka mendalam di hati banyak orang. Sebagai pekerja yang sehari-hari mencari nafkah di jalanan, ia bukanlah bagian dari kericuhan, namun nasib buruk menimpanya di tengah pusaran konflik. Kehadirannya di lokasi bisa jadi hanya kebetulan, namun dampaknya tak terbayangkan. Sementara demonstran yang ikut menjadi korban melengkapi daftar penderitaan malam itu, mempertegas bahwa kejadian tersebut meninggalkan bekas panjang bagi gerakan masyarakat.
Warga Sipil dalam Bayang-Bayang Trauma
Selain korban langsung, insiden ini menorehkan trauma kolektif bagi warga sekitar, terutama penghuni Rusun Bendungan Hilir 2. Anak-anak yang sebelumnya hanya menyaksikan dari balkon kini terpaksa merasakan pedihnya gas air mata. Lansia yang rapuh harus mengungsi dengan terburu-buru, meninggalkan rasa aman di rumah mereka sendiri. Malam yang semestinya tenang berubah jadi malam penuh teriakan, kepulan gas, dan ketakutan.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana konflik di jalanan dapat menembus batas ruang privat masyarakat. Bagi banyak keluarga, malam itu akan terus diingat sebagai pengalaman traumatis: menyaksikan tragedi dari dekat, mendengar jeritan korban, dan merasakan sendiri dampak gas air mata. Semua itu membekas, menambah daftar panjang pengalaman pahit warga terhadap aksi kekerasan dalam penanganan demonstrasi.
Pertanyaan yang Belum Terjawab
Hingga kini, publik masih bertanya-tanya tentang alasan mobil rantis tersebut melaju dengan cara demikian. Mengapa pengendara tidak berhenti setelah menabrak? Apakah insiden itu bagian dari strategi pembubaran massa, atau murni tindakan di luar kendali? Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu jawaban resmi dari pihak berwenang.
Di sisi lain, peristiwa ini juga menyoroti kembali persoalan lama mengenai pendekatan aparat dalam menghadapi aksi demonstrasi. Penembakan gas air mata ke arah permukiman jelas menimbulkan risiko besar bagi warga sipil. Apakah tindakan tersebut proporsional? Apakah prosedur keamanan telah diikuti dengan benar? Semua pertanyaan ini semakin relevan setelah adanya korban jiwa dalam insiden tragis tersebut.
Refleksi atas Insiden Pejompongan
Tragedi di Pejompongan menegaskan bahwa penanganan aksi massa harus selalu menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama. Demonstrasi, meski sering menimbulkan gesekan, tetap merupakan bagian dari ekspresi demokrasi. Kehadiran aparat semestinya melindungi, bukan menambah deretan korban. Insiden mobil rantis yang melindas pengemudi ojol menjadi bukti nyata bahwa standar keamanan perlu dievaluasi serius.
Lebih dari itu, peristiwa ini juga mengingatkan bahwa konflik di ruang publik tidak boleh sampai menyeret warga sipil yang sama sekali tidak terlibat. Anak-anak, lansia, dan keluarga yang hanya tinggal di sekitar lokasi seharusnya dilindungi, bukan dipaksa menghirup gas air mata dan merasakan trauma yang tak perlu.
Penutup
Kronologi yang diungkap saksi mata memperlihatkan betapa memilukannya kejadian di Pejompongan malam itu. Seorang pengemudi ojol kehilangan nyawanya secara tragis, seorang demonstran ikut menjadi korban, dan warga sipil harus mengungsi karena dampak gas air mata. Semua ini meninggalkan luka kolektif yang tak mudah sembuh.
Kini, masyarakat menanti tanggung jawab dan kejelasan dari pihak berwenang. Apakah tragedi ini akan dianggap sekadar insiden atau menjadi momentum perbaikan dalam penanganan aksi massa di Indonesia? Satu hal yang pasti, kisah malam itu akan selalu diingat sebagai pengingat keras bahwa setiap tindakan aparat di lapangan memiliki konsekuensi nyata terhadap kehidupan manusia.
