8 Poin Pernyataan Prabowo Soal Demo dan Desakan Aktivis Hentikan Represi terhadap Anak
Gelombang demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah dalam beberapa pekan terakhir telah menarik perhatian publik secara luas. Aksi yang bermula dari penyampaian aspirasi masyarakat terhadap sejumlah kebijakan pemerintah ini kemudian berkembang menjadi peristiwa politik yang besar, memicu tanggapan resmi dari Presiden Prabowo Subianto serta reaksi keras dari berbagai lembaga pemerhati dan aktivis masyarakat sipil.
Di satu sisi, pemerintah melalui Presiden Prabowo bersama ketua umum partai politik menyampaikan delapan poin penting untuk menanggapi dinamika demonstrasi. Di sisi lain, aktivis dan lembaga pengawas menekankan aspek perlindungan anak, hak asasi manusia, serta menolak pendekatan represif aparat. Pertemuan dua sudut pandang ini menggambarkan adanya tarik-menarik antara keinginan pemerintah menjaga stabilitas dengan tuntutan masyarakat sipil akan perlindungan hak-hak dasar.
Delapan Poin Pernyataan Prabowo dan Ketum Parpol
Presiden Prabowo Subianto bersama para ketua umum partai politik menggelar pertemuan di Istana Negara pada 31 Agustus 2025. Hasilnya, lahir delapan poin pernyataan yang dianggap sebagai sikap resmi pemerintah dan partai politik dalam merespons kondisi terkini.
Pertama, pemerintah menegaskan sikap tegas terhadap anggota DPR yang dinilai berbuat keliru. Moratorium kunjungan kerja hingga pencopotan anggota menjadi salah satu bentuk sanksi yang disepakati. Langkah ini dipandang sebagai sinyal bahwa partai politik tidak akan membiarkan wakilnya membuat pernyataan yang justru memicu keresahan masyarakat.
Kedua, pemerintah menjamin bahwa aspirasi murni rakyat akan selalu didengar. Kebebasan berpendapat yang dilakukan secara damai tetap dihormati. Poin ini penting sebagai pengingat bahwa konstitusi memberikan ruang luas bagi warga negara untuk menyuarakan pendapatnya.
Ketiga, aparat diperintahkan untuk bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai perusuh. Penjarahan dan perusakan fasilitas umum dikecam keras karena dipandang merugikan rakyat secara luas. Presiden menyebut kerusakan fasilitas publik sama saja dengan membuang uang rakyat.
Keempat, selain menegaskan ketertiban, Prabowo juga menyoroti adanya gejala makar dan terorisme yang diduga menyusup dalam beberapa aksi. Aparat diminta tidak ragu mengambil langkah keras bila ada bukti adanya upaya menggoyahkan negara melalui kerusuhan.
Kelima, DPR diminta mengundang tokoh masyarakat, mahasiswa, serta kelompok aspiratif lain untuk duduk bersama dalam dialog. Mekanisme dialog diyakini dapat meredam ketegangan yang mungkin timbul bila aspirasi hanya ditampung di jalanan.
Keenam, pemerintah menyerukan agar semua pihak menyalurkan aspirasi secara damai. Aksi damai dipandang sah, tetapi kerusuhan, perusakan, dan penjarahan tidak bisa ditoleransi.
Pernyataan ini, meskipun terdengar menyejukkan, tetap menekankan sisi penegakan hukum dengan keras terhadap tindakan yang dianggap melanggar batas. Inilah garis besar yang menjadi sikap resmi negara di bawah kepemimpinan Prabowo.
Desakan Aktivis dan Lembaga Pemerhati
Di sisi lain, respons berbeda datang dari aktivis, lembaga pemerhati, hingga organisasi perlindungan anak. Mereka menyoroti dampak penanganan aparat dalam demonstrasi yang dianggap represif, terutama terhadap anak-anak dan kelompok rentan.
Sejumlah lembaga di Jawa Timur, termasuk aktivis mahasiswa dan organisasi sipil, mendesak aparat menghentikan tindakan represif terhadap anak-anak yang ikut dalam demonstrasi. Menurut mereka, pelajar atau anak yang terlibat seharusnya dilihat sebagai korban, bukan dijadikan target penangkapan.
Komnas Perlindungan Anak bahkan mengeluarkan pernyataan tegas. Mereka menolak keterlibatan anak dalam demonstrasi yang berpotensi ricuh, sekaligus mengecam keras tindakan aparat yang menimbulkan korban jiwa. Kasus meninggalnya Afan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis saat demo, menjadi sorotan serius. Komnas Anak mendesak investigasi independen agar kasus ini tidak berhenti begitu saja.
Selain itu, Komnas Perempuan, PSHK, LBH Jentera, Jaringan Perempuan Jaga Indonesia, serta berbagai elemen masyarakat sipil menyampaikan tuntutan serupa. Mereka mengecam penggunaan kekuatan berlebihan seperti gas air mata dan water cannon yang dinilai melukai demokrasi. Tidak sedikit perempuan dan anak-anak menjadi korban tidak langsung dari pendekatan represif tersebut.
Bagi aktivis, demonstrasi adalah bagian dari hak sipil yang dilindungi konstitusi. Oleh karena itu, aparat seharusnya bertugas mengawal agar aksi berlangsung aman, bukan justru menjadi pihak yang menimbulkan ketakutan.
Pertentangan Dua Perspektif
Bila disandingkan, pernyataan pemerintah dan desakan masyarakat sipil menunjukkan kontras yang jelas. Pemerintah lebih menekankan aspek ketertiban, keamanan, serta penindakan tegas terhadap kerusuhan. Sementara itu, aktivis lebih menyoroti perlindungan hak asasi manusia, khususnya terhadap anak dan kelompok rentan.
Pemerintah menginginkan aksi damai, namun tidak segan menyebut adanya indikasi makar dan terorisme dalam demo. Hal ini bisa dipahami sebagai upaya mencegah eskalasi yang lebih besar. Namun bagi masyarakat sipil, narasi makar dan terorisme justru dikhawatirkan menjadi legitimasi bagi aparat untuk melakukan tindakan represif.
Selain itu, pemerintah menyampaikan bahwa aspirasi rakyat akan selalu didengar. Akan tetapi, masyarakat sipil merasa jalur penyampaian aspirasi justru sering dihadang dengan kekerasan aparat. Dari sinilah muncul desakan agar dialog dilakukan secara terbuka, transparan, dan bebas dari intimidasi.
Implikasi terhadap Demokrasi
Perbedaan sudut pandang antara pemerintah dan masyarakat sipil sebenarnya bisa menjadi pengingat penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Negara perlu menjaga stabilitas, tetapi pada saat yang sama tidak boleh mengabaikan hak dasar warganya.
Jika pendekatan keras yang diprioritaskan, risiko terbesar adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan pemerintah. Demonstrasi yang seharusnya menjadi kanal demokrasi bisa berubah menjadi simbol represi. Pada titik ini, legitimasi pemerintah akan dipertaruhkan.
Sebaliknya, jika pemerintah benar-benar konsisten dengan janjinya untuk mendengar aspirasi rakyat, maka perlu ada mekanisme dialog yang lebih transparan. Misalnya dengan melibatkan perwakilan mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga kelompok sipil secara terbuka di ruang publik.
Tantangan Perlindungan Anak dalam Aksi Massa
Salah satu isu paling krusial adalah keterlibatan anak dalam demonstrasi. Aktivis menekankan bahwa anak-anak tidak boleh dijadikan korban kekerasan negara. Komnas Anak meminta pemerintah memastikan ada perlindungan hukum bagi mereka, sekaligus mencegah pelibatan anak dalam aksi yang berisiko tinggi.
Isu ini menjadi sensitif karena melibatkan generasi muda. Bila anak-anak merasa trauma akibat perlakuan aparat, dampaknya bisa panjang, baik secara psikologis maupun sosial. Oleh karena itu, perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan terkait demonstrasi.
Jalan Tengah: Dialog dan Reformasi Penanganan Aksi
Melihat kondisi ini, jalan tengah yang paling rasional adalah memperkuat dialog terbuka sekaligus melakukan reformasi dalam cara aparat menangani aksi massa.
Pemerintah bisa tetap menegakkan hukum terhadap tindakan kriminal seperti perusakan fasilitas umum, namun harus membedakan secara jelas antara pelaku kriminal dan peserta aksi damai. Aparat perlu dilatih untuk menggunakan pendekatan humanis, mengedepankan negosiasi, dan menghindari penggunaan kekuatan berlebihan.
Sementara itu, masyarakat sipil juga diharapkan mampu mengarahkan aksi agar tetap berada dalam koridor damai. Organisasi mahasiswa, tokoh masyarakat, dan lembaga sosial bisa berperan besar dalam menjaga disiplin massa. Dengan begitu, aspirasi tetap tersampaikan tanpa harus mengorbankan keamanan publik.
Penutup
Pernyataan delapan poin Presiden Prabowo Subianto bersama ketua umum partai politik menegaskan komitmen pemerintah menjaga stabilitas, mendengar aspirasi rakyat, sekaligus menindak keras kerusuhan. Namun, di sisi lain, desakan masyarakat sipil, aktivis, dan lembaga pemerhati menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak boleh dijalankan dengan pendekatan represif, terutama ketika menyangkut anak-anak dan kelompok rentan.
Persoalan ini menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan antara ketertiban dan kebebasan sipil. Agar Indonesia tetap berada di jalur demokrasi, diperlukan langkah konkret berupa dialog terbuka, perlindungan anak, serta reformasi pola penanganan demonstrasi oleh aparat. Dengan begitu, aspirasi rakyat dapat tersalurkan secara damai tanpa harus berhadapan dengan kekerasan negara.
