Alasan Gibran Digugat karena Pendidikan SMA Meski Pernah Sekolah di Luar Negeri
Kontroversi politik di Indonesia kembali menghangat setelah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut datang dari seorang warga sipil bernama HM Subhan atau yang juga dikenal sebagai Subhan Palal. Kasus ini menarik perhatian publik karena berkaitan dengan latar belakang pendidikan Gibran, khususnya jenjang sekolah menengah atas (SMA), yang disebut tidak sesuai dengan syarat formal untuk maju sebagai calon wakil presiden.
Persoalan ini menimbulkan perdebatan luas di tengah masyarakat. Pasalnya, Gibran memang tidak menempuh pendidikan SMA di dalam negeri, melainkan bersekolah di luar negeri, yakni di Singapura dan Australia. Meski secara akademis hal itu dianggap setara, gugatan ini menyoroti adanya celah hukum yang dinilai bisa menggugurkan syarat pencalonan dirinya di ajang Pemilu 2024 lalu.
Gugatan Mencapai Rp 125 Triliun
Gugatan Subhan terhadap Gibran bukanlah perkara kecil. Ia menuntut ganti rugi materiil dan imateriil dengan nilai fantastis, yakni Rp 125 triliun. Angka ini mengejutkan publik dan membuat kasus ini semakin disorot media. Selain itu, Subhan juga meminta agar Gibran membayar sejumlah uang pribadi sebesar Rp 10 juta, yang nantinya ditujukan untuk kas negara dan didistribusikan kepada seluruh warga Indonesia.
Nomor perkara yang tercatat di PN Jakarta Pusat adalah 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst, dengan tergugat pertama adalah Gibran Rakabuming Raka dan tergugat kedua adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Subhan menilai bahwa KPU juga ikut bertanggung jawab karena dianggap telah meloloskan pencalonan Gibran meski syarat ijazah yang dimiliki tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pendidikan Gibran di Luar Negeri
Salah satu inti gugatan ini berkaitan dengan rekam jejak pendidikan Gibran. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu diketahui menempuh pendidikan menengah di luar negeri. Tahun 2002–2004, ia bersekolah di Orchid Park Secondary School di Singapura. Setelah itu, pada 2004–2007, ia melanjutkan pendidikan di UTS Insearch, sebuah lembaga pendidikan di Sydney, Australia, yang berfungsi sebagai jalur persiapan masuk universitas.
Dalam perspektif akademis internasional, pendidikan yang ditempuh Gibran jelas diakui setara dengan jenjang SMA. Namun, Subhan berpendapat bahwa hal tersebut tidak memenuhi persyaratan hukum formal dalam Undang-Undang Pemilu di Indonesia, yang secara eksplisit menyebut syarat calon presiden dan wakil presiden adalah minimal lulusan “Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat.”
Perdebatan tentang Kesetaraan Ijazah
Persoalan hukum muncul karena Undang-Undang Pemilu tidak memberikan penjelasan rinci terkait status ijazah luar negeri. Memang terdapat mekanisme penyetaraan pendidikan asing melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Namun, dalam kasus Gibran, gugatan ini mempertanyakan apakah KPU memiliki kewenangan untuk menerima ijazah luar negeri sebagai bukti kelulusan yang sah.
Subhan menilai, KPU telah melakukan pelanggaran hukum karena mengesahkan pencalonan Gibran tanpa adanya legitimasi setara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurutnya, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi jika tidak diselesaikan melalui jalur hukum.
KPU Ikut Jadi Tergugat
Keterlibatan KPU sebagai tergugat kedua menunjukkan bahwa gugatan ini tidak semata-mata diarahkan kepada Gibran, melainkan juga kepada lembaga penyelenggara pemilu. Dalam pandangan Subhan, KPU seharusnya menolak pencalonan Gibran apabila tidak ada dokumen pendidikan yang sah sesuai aturan.
Polemik ini menimbulkan diskusi serius mengenai kewenangan KPU dalam menafsirkan persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Selama ini, KPU memang menjadi lembaga yang berhak menerima, memverifikasi, dan menetapkan calon. Namun, jika keputusan KPU terbukti cacat hukum, maka hal itu bisa mengundang sengketa hukum baru di masa depan.
Sidang Perdana di PN Jakarta Pusat
Kasus ini dijadwalkan akan mulai disidangkan pada Senin, 8 September 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Publik diperkirakan akan menyoroti jalannya persidangan, mengingat besarnya nilai gugatan dan posisi Gibran sebagai wakil presiden aktif.
Banyak pihak menilai bahwa persidangan ini akan menjadi ajang pengujian hukum atas interpretasi peraturan pemilu, khususnya terkait status pendidikan luar negeri. Apabila pengadilan menerima argumentasi Subhan, maka konsekuensinya bisa sangat besar, tidak hanya bagi Gibran, tetapi juga bagi legitimasi proses Pemilu 2024.
Dampak Politik dan Persepsi Publik
Gugatan ini jelas menambah beban politik bagi Gibran. Sebagai figur muda yang berhasil menembus puncak kekuasaan melalui jalur cepat, ia sering kali menjadi sorotan publik. Persoalan pendidikan ini bisa dimanfaatkan lawan politik untuk melemahkan posisinya, baik di ranah pemerintahan maupun dalam persaingan politik ke depan.
Bagi masyarakat, kasus ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah sistem hukum Indonesia sudah cukup siap mengakomodasi realitas globalisasi pendidikan? Di era ketika banyak anak bangsa bersekolah di luar negeri, seharusnya ada aturan yang lebih jelas mengenai penyetaraan ijazah agar tidak menimbulkan multitafsir.
Celah Regulasi dalam UU Pemilu
Undang-Undang Pemilu hanya menyebut syarat calon presiden dan wakil presiden harus minimal lulusan SMA atau sederajat. Namun, istilah “sederajat” belum memiliki tafsir hukum yang konsisten, terutama jika berkaitan dengan pendidikan di luar negeri.
Dalam kasus Gibran, meski secara substansi pendidikan yang ditempuhnya diakui internasional, masalah muncul karena tidak ada mekanisme formal yang tercatat jelas dalam verifikasi KPU. Subhan menyoroti hal ini sebagai bentuk kelalaian administratif yang bisa berimplikasi hukum.
Tuntutan Fantastis dan Pesan Simbolis
Nilai gugatan sebesar Rp 125 triliun jelas sulit diterima akal sehat. Namun, sebagian pengamat melihat angka ini lebih bersifat simbolis untuk mengguncang perhatian publik dan memberi pesan keras terhadap KPU maupun pemerintah. Dengan menuntut angka sebesar itu, Subhan ingin menunjukkan bahwa isu ini bukan perkara kecil, melainkan persoalan besar yang menyangkut kualitas demokrasi dan konstitusi.
Selain itu, tuntutan uang pribadi Rp 10 juta yang diminta untuk dibagikan kepada rakyat juga dinilai sebagai cara menggambarkan bahwa gugatan ini berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan individu.
Potensi Dampak Hukum
Jika pengadilan mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan Subhan, maka dampaknya bisa sangat luas. Legitimasi pencalonan Gibran dalam Pemilu 2024 bisa dipertanyakan kembali. Bahkan, ada kemungkinan muncul desakan untuk membuka kembali proses pemilu dengan dasar cacat hukum.
Namun, jika pengadilan menolak gugatan ini, maka Gibran akan tetap aman secara hukum, meski tetap menyisakan perdebatan di ruang publik. Keputusan pengadilan akan menjadi preseden penting bagi kasus serupa di masa mendatang.
Penutup
Kasus gugatan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menunjukkan bahwa persoalan administratif, seperti pendidikan formal, bisa menjadi isu serius dalam politik Indonesia. Pendidikan Gibran di luar negeri yang semestinya menjadi nilai tambah justru dipersoalkan karena celah hukum yang belum diatur secara rinci.
Dengan nilai gugatan fantastis Rp 125 triliun dan melibatkan KPU sebagai tergugat kedua, persidangan ini akan menjadi sorotan publik. Lebih dari sekadar persoalan pribadi, kasus ini bisa menjadi titik tolak untuk memperbaiki regulasi pemilu agar lebih jelas, transparan, dan mampu menghadapi realitas globalisasi pendidikan.
Apapun hasilnya, gugatan ini akan tercatat dalam sejarah politik Indonesia sebagai salah satu kontroversi hukum paling mencolok, yang mempertemukan dunia pendidikan, hukum, dan kekuasaan dalam satu ruang sidang.
