Ijazah Gibran Digugat Roy Suryo, Publik Kian Soroti Keabsahan Pendidikan Sang Wakil Presiden
Isu keabsahan ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kini memasuki babak baru. Polemik ini bukan sekadar perdebatan di ruang publik, melainkan sudah bergulir ke ranah hukum setelah adanya gugatan resmi yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sosok yang ikut menyoroti kasus ini adalah Roy Suryo, pakar telematika yang kerap muncul dalam isu-isu sensitif. Ia menyebut ada banyak kejanggalan dalam riwayat pendidikan putra sulung mantan Presiden Jokowi tersebut, bahkan menyamakannya dengan dagelan ala Srimulat.
Isu ijazah pejabat negara sejatinya bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya, mantan Presiden Jokowi pun sempat diterpa tuduhan serupa. Kini, bayangan polemik itu seolah menurun kepada Gibran, yang menduduki jabatan tertinggi kedua di negeri ini. Situasi ini memantik diskusi hangat: apakah tudingan ini sekadar isu politik, atau memang terdapat persoalan mendasar dalam dokumen pendidikan Gibran?
Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Perkara ini bermula dari langkah hukum seorang advokat bernama Subhan Palal. Ia mendaftarkan gugatan perdata terhadap Gibran, menyoal keabsahan ijazah SMA yang digunakan saat pencalonan wakil presiden. Menurut Subhan, dokumen pendidikan yang dimiliki Gibran tidak sah secara hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan di Indonesia.
Gugatan itu juga menyeret Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab. Pasalnya, KPU meloloskan pencalonan Gibran meski ada dugaan syarat administrasi berupa ijazah SMA belum jelas statusnya. Tuntutan Subhan bukan sekadar menggugat Gibran sebagai pribadi, tetapi juga menggugat sistem seleksi yang selama ini dianggap longgar dalam memverifikasi dokumen pencalonan.
Kasus ini akhirnya menimbulkan pertanyaan publik: bagaimana proses verifikasi ijazah dalam pemilu dijalankan? Apakah benar dokumen calon pemimpin bangsa hanya diperiksa sekilas tanpa memastikan keabsahannya?
Peran Roy Suryo: Dari Pengamat Jadi Pemberi Data
Nama Roy Suryo kembali ramai dibicarakan setelah ia menyatakan siap menjadi ahli dalam perkara pemakzulan Gibran. Ia mengaku telah menyiapkan sejumlah dokumen yang akan memperkuat argumentasi tentang dugaan kejanggalan ijazah sang wakil presiden.
Roy menilai kronologi pendidikan Gibran berubah-ubah dan tidak konsisten. Dalam biografi resmi disebutkan Gibran pernah bersekolah di luar negeri, tepatnya Orchard Secondary School di Singapura. Namun, hingga kini, bukti fisik ijazah dari sekolah tersebut belum pernah dipublikasikan secara terbuka. Sebaliknya, ada pula klaim saksi yang menyebut Gibran sempat bersekolah di SMA Santo Yosef, Solo. Pihak sekolah kemudian membantah tegas bahwa Gibran tidak pernah terdaftar sebagai siswa mereka.
Ketidaksesuaian data inilah yang menurut Roy membuat publik berhak curiga. Ia bahkan menyamakan kasus ini dengan “dagelan Srimulat”, istilah satir untuk menggambarkan sesuatu yang tidak jelas arahnya namun dipaksakan agar terlihat serius.
Lebih jauh, Roy membandingkan kasus Gibran dengan isu lama mengenai ijazah Jokowi. Menurutnya, jika ijazah UGM milik Jokowi pernah dipertanyakan dalam kajian akademis, maka kasus Gibran jauh lebih rumit karena menyangkut jenjang pendidikan menengah yang kronologinya disebut “amburadul”.
Pemerintah dan Publik Menyikapi
Polemik ini akhirnya sampai juga ke telinga mantan Presiden Jokowi. Ia menyatakan bahwa masalah ijazah Gibran kini berada di jalur hukum, sehingga sebaiknya semua pihak menunggu putusan pengadilan. Jokowi menambahkan, apabila isu semacam ini terus dipelihara, bukan tidak mungkin cucunya, Jan Ethes, kelak juga akan ditarik-tarik dalam tuduhan serupa.
Pernyataan Jokowi tersebut menggambarkan keprihatinan sekaligus kekesalan. Sebagai seorang ayah, tentu ia merasa isu ini tidak hanya menyerang Gibran, tetapi juga menyinggung keluarganya secara keseluruhan. Namun, di sisi lain, publik menilai komentar Jokowi tidak cukup untuk menjawab tuduhan substantif soal keabsahan ijazah.
Di masyarakat, isu ini menimbulkan pro-kontra. Ada yang menganggapnya sekadar manuver politik untuk menjatuhkan legitimasi Gibran sebagai wakil presiden muda. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai momentum untuk menegakkan transparansi, terutama dalam hal persyaratan administratif calon pemimpin. Bagi kelompok kedua, kasus ini harus dijawab dengan bukti otentik, bukan sekadar klarifikasi verbal.
Sekolah Membantah, Polemik Kian Rumit
SMA Santo Yosef, Solo, yang disebut-sebut pernah menjadi tempat Gibran bersekolah, telah memberikan klarifikasi resmi. Pihak sekolah menegaskan bahwa Gibran tidak pernah terdaftar sebagai murid mereka. Pernyataan ini semakin memperkeruh suasana karena bertentangan dengan keterangan beberapa saksi yang mengaku pernah melihat Gibran bersekolah di sana.
Jika klaim sekolah benar, maka semakin besar pula tuntutan publik agar Gibran menunjukkan ijazah asli dari Orchard Secondary School. Tanpa bukti fisik, tuduhan Subhan maupun sindiran Roy Suryo akan terus mendapat ruang dalam diskursus publik.
Transparansi Sebagai Kunci
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan yang dilayangkan, kasus ini mengajarkan bahwa transparansi merupakan hal mutlak bagi pejabat publik. Masyarakat berhak mengetahui latar belakang pendidikan pemimpin mereka secara jelas, termasuk keabsahan dokumen yang digunakan.
Jika dokumen itu asli, maka membukanya ke publik akan meredam polemik sekaligus mengembalikan kepercayaan. Namun jika sebaliknya, maka konsekuensi hukum maupun politik harus siap ditanggung.
Analisis: Politik atau Persoalan Substansi?
Melihat dinamika kasus ini, ada dua sudut pandang utama:
-
Dimensi politik.
Tak bisa dipungkiri, Gibran adalah figur politik yang lahir dari keluarga penguasa. Statusnya sebagai wakil presiden muda membuatnya sering jadi sorotan, terlebih ia digadang-gadang sebagai calon penerus estafet politik Jokowi. Dalam konteks ini, isu ijazah bisa saja digunakan lawan politik untuk meruntuhkan legitimasi. -
Dimensi substansi.
Namun, di luar aspek politik, tuduhan ini tetap menyangkut keabsahan dokumen resmi. Jika ada celah atau ketidakjelasan dalam ijazah, maka itu bukan semata-mata isu politik, melainkan masalah administrasi negara yang serius. Apalagi, syarat pendidikan merupakan bagian dari regulasi pemilu yang harus dipenuhi.
Kedua dimensi ini saling terkait. Isu yang awalnya administratif bisa dengan cepat menjadi bahan politik, sementara manuver politik justru membuka ruang investigasi lebih mendalam terhadap hal administratif.
Menanti Putusan Hukum
Saat ini, semua mata tertuju pada jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan yang diajukan Subhan akan menjadi ujian penting bagi sistem hukum dan demokrasi Indonesia.
Apabila pengadilan memutuskan bahwa ijazah Gibran sah, maka isu ini akan mereda meski mungkin masih menyisakan keraguan di sebagian publik. Sebaliknya, jika ditemukan bukti ketidakabsahan, maka dampaknya bisa sangat besar, mulai dari delegitimasi politik hingga kemungkinan proses pemakzulan.
Apapun hasilnya, proses hukum ini akan menjadi preseden bagi masa depan verifikasi administrasi dalam pemilu Indonesia.
Penutup
Kasus gugatan ijazah Gibran adalah cerminan kompleksitas politik Indonesia. Di satu sisi, ia memperlihatkan betapa ketatnya pengawasan publik terhadap pejabat negara. Di sisi lain, ia menunjukkan masih adanya celah dalam sistem verifikasi administrasi yang bisa memunculkan kecurigaan.
Roy Suryo dengan gayanya yang satir menambah bumbu dalam polemik ini, membuat isu semakin viral dan diperbincangkan. Namun, yang paling ditunggu adalah bukti otentik serta putusan hukum. Hanya dengan itu, publik bisa mendapat jawaban pasti: apakah ijazah Gibran sah adanya, atau memang terdapat masalah mendasar yang perlu dipertanggungjawabkan.
Bagi bangsa ini, pelajaran pentingnya jelas: transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban bagi setiap pejabat publik.
