KDM Sesalkan Gedung DPRD Jabar yang Sudah Dibersihkan Ojol Malah Dilempari Sampah

 

KDM Sesalkan Gedung DPRD Jabar yang Sudah Dibersihkan Ojol Malah Dilempari Sampah

Gelombang aksi demonstrasi belakangan ini kembali menjadi sorotan publik, khususnya di Jawa Barat. Peristiwa yang terjadi pada Kamis, 4 September 2025, di depan Gedung DPRD Jawa Barat menciptakan ironi yang menuai perdebatan di berbagai kalangan. Sekelompok massa yang menamakan diri “Rakyat Anti Penggusuran” melakukan aksi pelemparan sampah ke arah gedung dewan, padahal sehari sebelumnya bangunan tersebut baru saja dibersihkan dan dicat ulang oleh komunitas pengemudi ojek online (ojol).



Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), memberikan pernyataan tegas terkait insiden ini. Ia menyayangkan aksi pelemparan sampah tersebut, bukan hanya karena merusak estetika gedung wakil rakyat, melainkan juga karena tindakan itu dianggap tidak menghargai kerja keras para ojol yang telah berupaya merapikan dan mempercantik area tersebut.

Aksi Lempar Sampah: Bentuk Protes atau Simbol Ketidakpuasan?

Massa yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk banyak kaum ibu, hadir di depan Gedung DPRD Jabar dengan membawa beragam tuntutan. Di antara isu yang mereka soroti adalah tingginya beban pajak, naiknya harga kebutuhan pokok, biaya listrik yang semakin mencekik, hingga desakan agar pemerintah membebaskan masyarakat yang ditangkap pada demonstrasi sebelumnya.

Dalam semangat demokrasi, unjuk rasa adalah hak warga negara. Namun, cara penyampaian aspirasi inilah yang memunculkan kontroversi. Aksi melempar sampah dianggap sebagai simbol ketidakpuasan dan perlawanan, tetapi pada saat yang sama juga dinilai kontraproduktif. Pasalnya, apa yang dilemparkan ke gedung tersebut bukan hanya kritik simbolis, melainkan juga merusak wajah kota yang sehari sebelumnya sudah ditata rapi.

Bagi sebagian pihak, aksi tersebut menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah. Namun bagi yang lain, tindakan itu dinilai hanya menambah masalah baru, yakni pencemaran lingkungan dan menyinggung pihak lain yang sudah bekerja keras menjaga kebersihan.

Ironi Setelah Kerja Keras Ojol

Yang membuat kejadian ini semakin disorot publik adalah fakta bahwa sehari sebelumnya, komunitas ojol bersama-sama melakukan aksi sosial membersihkan Gedung DPRD Jabar. Mereka tidak hanya menyapu dan merapikan area sekitar, tetapi juga mengecat ulang dinding luar gedung agar tampak lebih segar.

Langkah ini sebenarnya menjadi simbol positif bahwa partisipasi masyarakat bisa diwujudkan dalam bentuk nyata, bukan hanya sekadar protes. Aksi ojol dipandang sebagai bentuk kepedulian warga terhadap fasilitas publik, meskipun bukan mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas gedung tersebut.

Namun, kerja keras itu seolah diabaikan begitu saja ketika keesokan harinya aksi pelemparan sampah berlangsung. Alih-alih menyampaikan kritik dengan cara konstruktif, tindakan massa justru menghapus hasil gotong royong yang dilakukan sehari sebelumnya.

Respons KDM: Demokrasi Harus Menghormati Sesama

Gubernur Dedi Mulyadi menegaskan bahwa dirinya menghargai kebebasan berpendapat dan hak rakyat untuk menyampaikan kritik. Namun ia menilai, bentuk penyampaian aspirasi melalui pelemparan sampah adalah langkah yang tidak bijak.

Dalam keterangannya, Dedi menekankan bahwa demokrasi sejati bukan sekadar menyuarakan pendapat, tetapi juga mencerminkan penghormatan kepada orang lain. Ia menyampaikan, sudah sepatutnya para demonstran menghargai upaya ojol yang membersihkan gedung. Baginya, ironi ini menjadi gambaran bahwa aspirasi rakyat bisa saja kehilangan makna jika disampaikan dengan cara yang merusak hasil kerja orang lain.

“Penyampaian pendapat itu sah dan dijamin konstitusi, tetapi jangan sampai meniadakan kerja keras warga yang baru saja berjuang merapikan fasilitas umum,” ujarnya dalam pernyataan resminya.

Pernyataan ini bukan hanya ditujukan kepada massa aksi, melainkan juga sebagai pesan moral yang lebih luas bagi masyarakat Jawa Barat: kritik boleh, bahkan harus, tetapi cara penyampaiannya menentukan seberapa besar dampak positif yang dapat diraih.

Aspirasi yang Perlu Didengar, Tapi Butuh Cara yang Lebih Baik

Di balik kontroversi metode aksi, tuntutan yang dibawa oleh massa sebenarnya mencerminkan keresahan nyata masyarakat. Kenaikan harga kebutuhan pokok, beban pajak yang semakin berat, hingga masalah tarif listrik adalah isu-isu riil yang dirasakan warga.

Pemerintah memang berkewajiban mendengar dan merespons keluhan tersebut. Namun, penyampaian aspirasi sebaiknya diarahkan pada forum dan mekanisme yang memungkinkan dialog konstruktif. Dengan begitu, suara rakyat dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang solutif, bukan hanya sekadar menciptakan polemik di ruang publik.

Aksi pelemparan sampah justru membuat pesan yang ingin disampaikan massa menjadi kabur. Publik lebih banyak menyoroti tindakan destruktif mereka ketimbang substansi tuntutan yang diusung. Inilah yang membuat kritik menjadi kehilangan kekuatan moralnya.

Dimensi Sosial: Menghargai Gotong Royong

Insiden ini juga membuka diskusi lebih luas tentang nilai gotong royong dan penghargaan terhadap sesama. Ojol yang turun tangan membersihkan gedung DPRD menunjukkan bahwa kepedulian sosial tidak selalu berbentuk aksi besar, tetapi bisa dimulai dari langkah sederhana seperti menjaga kebersihan.

Sayangnya, aksi protes sehari setelahnya justru menihilkan nilai tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah aspirasi rakyat harus selalu disampaikan dengan cara merusak simbol kerja sama warga? Atau justru seharusnya dibarengi dengan upaya menjaga apa yang sudah diperjuangkan orang lain?

KDM dengan tegas mengingatkan bahwa Jawa Barat memiliki tradisi luhur dalam menghargai sesama. Budaya Sunda yang lekat dengan nilai sopan santun dan kebersamaan seharusnya menjadi pedoman dalam menyampaikan kritik sekalipun.

Reaksi Publik dan Pelajaran yang Bisa Dipetik

Peristiwa ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Sebagian warganet mendukung aksi protes dengan alasan bahwa suara rakyat seringkali diabaikan jika disampaikan dengan cara biasa. Namun, banyak juga yang mengecam metode pelemparan sampah karena dianggap mencoreng citra kota dan mengabaikan jerih payah ojol.

Dari insiden ini, ada sejumlah pelajaran penting yang bisa dipetik:

  1. Demokrasi perlu etika. Hak menyampaikan pendapat tidak boleh meniadakan hak orang lain yang sudah bekerja keras menjaga lingkungan.

  2. Substansi harus lebih menonjol daripada simbol destruktif. Tuntutan rakyat akan lebih diperhatikan jika disampaikan secara tertata dan dialogis.

  3. Gotong royong harus dihargai. Aksi sosial seperti yang dilakukan ojol seharusnya menjadi teladan, bukan justru dirusak.

  4. Pemerintah perlu tanggap. Isu yang diangkat massa tetap valid dan harus dicarikan solusi nyata, meski caranya disoroti negatif.

Harapan ke Depan

Dedi Mulyadi berharap agar kejadian serupa tidak terulang. Ia mengajak masyarakat Jawa Barat untuk tetap menyuarakan aspirasi dengan cara yang bermartabat, sekaligus menjaga nilai-nilai kebersamaan. Kritik, bagaimanapun juga, adalah bagian penting dari demokrasi, tetapi akan lebih kuat bila disampaikan dengan cara yang mencerminkan kedewasaan politik dan kepedulian sosial.

Ke depan, pemerintah daerah diharapkan lebih terbuka dalam menampung keluhan masyarakat melalui jalur resmi. Sementara itu, warga diimbau untuk memilih cara-cara kreatif dan konstruktif dalam menyampaikan pendapat, sehingga substansi aspirasi tidak hilang ditutupi oleh kontroversi metode.

Penutup

Aksi pelemparan sampah di Gedung DPRD Jawa Barat menjadi potret paradoks antara kebebasan berdemokrasi dan tanggung jawab sosial. Di satu sisi, rakyat berhak menyampaikan kritik atas kebijakan yang dirasa membebani. Namun di sisi lain, bentuk penyampaian yang merusak kerja keras orang lain justru melemahkan pesan yang ingin disampaikan.

Dedi Mulyadi melalui pernyataannya berupaya menegaskan bahwa demokrasi yang sehat bukan hanya tentang kebebasan bersuara, tetapi juga tentang menghormati sesama warga. Dari insiden ini, publik diingatkan kembali bahwa aspirasi rakyat akan lebih kuat gaungnya bila disampaikan dengan cara yang bijak, bermartabat, dan menghargai nilai gotong royong.

Dengan demikian, pelajaran utama dari peristiwa ini bukanlah tentang siapa yang benar atau salah, melainkan tentang bagaimana demokrasi bisa dijalankan dengan etika, sehingga kritik menjadi sarana perbaikan, bukan sekadar sumber kerusakan baru.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama