Soroti Kejanggalan Ijazah Gibran, Roy Suryo Ungkap di Sydney Hanya Kursus Singkat Tapi Ditulis Lama Studi 3 Tahun
Isu mengenai keabsahan ijazah Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, kembali menjadi sorotan publik setelah pakar telematika sekaligus mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, mengangkat sejumlah kejanggalan. Sorotan itu berawal dari dokumen pendidikan yang Gibran cantumkan dalam persyaratan pencalonan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di sana tertulis bahwa Gibran pernah menempuh pendidikan di University of Technology Sydney (UTS) selama tiga tahun. Namun, menurut penelusuran Roy Suryo, apa yang ditempuh Gibran sebenarnya hanyalah program singkat bernama Insearch dengan durasi sekitar enam bulan.
Perbedaan data ini menimbulkan banyak tanda tanya. Bagi sebagian pihak, hal ini mungkin dianggap hal sepele terkait administratif pendidikan. Namun bagi Roy Suryo, ketidaksesuaian informasi pendidikan seorang pejabat negara, terlebih seorang wakil presiden, adalah sesuatu yang tidak boleh dianggap remeh. Ia menilai ada sejumlah hal yang tidak wajar dalam riwayat pendidikan Gibran, dan karena itu publik berhak mendapatkan penjelasan yang transparan.
Klaim Studi Tiga Tahun di UTS yang Dipertanyakan
Dalam dokumen resmi pencalonan di KPU, tercatat bahwa Gibran menyelesaikan studi di University of Technology Sydney selama tiga tahun. Namun, Roy Suryo membeberkan bahwa Gibran hanya mengikuti program Insearch di kampus tersebut. Program ini sejatinya bukan program studi reguler layaknya strata satu, melainkan semacam kursus matrikulasi singkat yang dirancang sebagai jembatan bagi mahasiswa internasional agar dapat menyesuaikan diri dengan standar akademik di Australia.
Menurut Roy, program Insearch ini berdurasi sekitar enam bulan, jauh dari klaim tiga tahun penuh yang tertulis dalam dokumen resmi. Perbedaan signifikan ini, kata Roy, tidak bisa disepelekan. Apalagi dalam konteks pencalonan pejabat negara, setiap detail mengenai riwayat pendidikan seharusnya jelas dan sesuai dengan fakta. Jika dalam dokumen resmi tertulis tiga tahun, sementara kenyataannya jauh lebih singkat, maka tentu menimbulkan pertanyaan apakah ada unsur kekeliruan administratif atau kesengajaan yang dilakukan untuk menutupi realitas.
Pertanyaan Tentang Pendidikan Menengah Atas
Selain menyentil soal durasi studi di UTS, Roy juga menyoroti riwayat pendidikan menengah atas Gibran. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa Gibran menempuh pendidikan di Orchid Park Secondary School selama dua tahun sebelum melanjutkan ke UTS. Di titik ini, Roy mempertanyakan kelengkapan ijazah setingkat SMA yang semestinya menjadi syarat minimal untuk mencalonkan diri sebagai kepala atau wakil kepala daerah, apalagi hingga menjadi wakil presiden.
Menurut aturan KPU, syarat pendidikan minimal bagi calon presiden maupun wakil presiden adalah lulusan SMA atau sederajat. Jika riwayat pendidikan menengah atas Gibran tidak dapat ditunjukkan dengan bukti yang jelas, maka hal itu berpotensi menimbulkan kontroversi. Pertanyaan Roy sesungguhnya sederhana: mana ijazah SMA yang resmi dan diakui secara hukum?
Penyetaraan Ijazah yang Dinilai Janggal
Hal lain yang membuat Roy semakin curiga adalah adanya surat penyetaraan ijazah yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Dalam surat tersebut, ijazah UTS Gibran disetarakan dengan ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Roy menyebut hal ini aneh, bahkan sempat menyebutnya sebagai “dagelan Srimulat,” karena menurutnya tidak masuk akal jika sebuah program kursus singkat bisa disetarakan dengan ijazah formal setingkat SMK.
Normalnya, penyetaraan ijazah dilakukan untuk menyamakan standar pendidikan luar negeri dengan sistem pendidikan Indonesia. Namun, jika ijazah yang disetarakan berasal dari program non-reguler, maka akan menimbulkan pertanyaan besar mengenai validitas dan kesahihannya. Apalagi penyetaraan ini tidak dilakukan segera setelah Gibran lulus, melainkan baru terbit 13 tahun kemudian, tepatnya pada 2019.
Jeda Waktu 13 Tahun yang Dipertanyakan
Roy menekankan bahwa penyetaraan ijazah yang baru dilakukan setelah belasan tahun juga merupakan sebuah kejanggalan. Jika Gibran lulus sekitar tahun 2006, mengapa surat penyetaraan baru muncul pada 2019? Apakah ada alasan khusus yang membuat proses tersebut tertunda begitu lama? Atau justru ada faktor politik yang baru mendorong penyetaraan tersebut dilakukan belakangan?
Bagi Roy, jeda waktu ini tidak bisa dianggap biasa. Penyetaraan ijazah biasanya dilakukan tidak lama setelah seseorang menyelesaikan studi, terlebih jika yang bersangkutan membutuhkan ijazah itu untuk melanjutkan pendidikan atau pekerjaan di Indonesia. Karena itu, fakta bahwa butuh waktu 13 tahun untuk menyetarakan ijazah Gibran menjadi sesuatu yang menambah daftar kejanggalan yang perlu dijelaskan kepada publik.
Implikasi Hukum dan Politik
Isu keabsahan ijazah ini memang bisa berdampak besar, baik dari sisi hukum maupun politik. Secara hukum, jika memang ditemukan adanya ketidakcocokan atau bahkan pemalsuan data, tentu bisa berimplikasi pada legitimasi pencalonan Gibran. Meski demikian, perlu ditegaskan bahwa semua tuduhan masih sebatas sorotan Roy Suryo dan gugatan perdata yang diajukan oleh Subhan Palal, S.H., M.H. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Artinya, kebenaran materil masih harus dibuktikan di ranah hukum.
Dari sisi politik, isu ini jelas bisa menjadi senjata bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan Gibran dan pemerintahan saat ini. Publik Indonesia cukup sensitif terhadap isu ijazah, terbukti dari beberapa kasus serupa yang pernah terjadi pada tokoh-tokoh politik lain. Transparansi dan klarifikasi resmi dari pihak terkait menjadi kunci agar isu ini tidak semakin liar dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis.
Publik Menanti Klarifikasi
Hingga kini, publik masih menunggu klarifikasi resmi dari pihak Gibran maupun dari University of Technology Sydney terkait status pendidikan tersebut. Jika memang benar Gibran hanya menempuh program singkat, maka perlu diluruskan bagaimana status penyetaraan itu bisa keluar dan diakui oleh lembaga resmi di Indonesia. Sebaliknya, jika klaim Roy ternyata tidak akurat, maka pembuktiannya juga perlu dilakukan secara terbuka agar tidak menimbulkan fitnah berkepanjangan.
Keterbukaan menjadi kunci utama. Seorang wakil presiden tidak hanya dituntut memiliki rekam jejak politik yang baik, tetapi juga integritas personal yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketidaksesuaian data sekecil apapun, termasuk soal pendidikan, bisa meruntuhkan kepercayaan publik jika tidak dijelaskan dengan baik.
Mengapa Isu Ijazah Selalu Sensitif di Indonesia
Isu ijazah politikus di Indonesia selalu menjadi topik sensitif. Hal ini tidak lepas dari kultur politik yang menempatkan pendidikan formal sebagai salah satu indikator legitimasi. Masyarakat menilai, seorang pejabat negara haruslah jujur dalam menyampaikan riwayat pendidikan, karena dari sanalah masyarakat bisa menilai integritas dan kredibilitasnya.
Kasus-kasus serupa sebelumnya pernah menimpa sejumlah tokoh publik, dan selalu berakhir dengan kontroversi panjang. Karena itu, ketika Roy Suryo mengangkat isu kejanggalan ijazah Gibran, publik langsung memberi perhatian besar. Tidak sedikit yang menuntut agar hal ini dijelaskan secara gamblang agar tidak menimbulkan polemik berlarut-larut.
Kesimpulan
Sorotan Roy Suryo terhadap ijazah Gibran membuka bab baru dalam perdebatan publik soal integritas pejabat negara. Ada empat poin utama yang ia persoalkan: klaim tiga tahun studi di UTS yang menurutnya hanya kursus enam bulan, pertanyaan mengenai ijazah SMA yang jelas, penyetaraan ijazah dengan SMK yang dianggap tidak wajar, serta jeda waktu 13 tahun dalam penerbitan surat penyetaraan.
Semua ini menjadi bahan diskusi yang serius, karena menyangkut kredibilitas seorang wakil presiden. Publik berhak mendapatkan penjelasan yang jujur dan transparan. Pada akhirnya, kebenaran hanya bisa dipastikan melalui bukti otentik yang sah secara hukum. Apapun hasilnya nanti, yang terpenting adalah kejelasan dan keterbukaan agar kepercayaan rakyat terhadap pejabat publik tetap terjaga.
