“Mardani PKS Ungkap Kerumitan Relasi Prabowo–Jokowi: Semua Berawal dari Gibran”
Dalam dinamika politik nasional yang terus bergulir pasca-Pemilihan Presiden 2024, hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo kembali menjadi sorotan publik. Isu mengenai keretakan hubungan dua tokoh besar tersebut mencuat setelah Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Damanik, menuding adanya pihak-pihak yang berupaya memecah kedekatan Prabowo dan Jokowi melalui berbagai narasi politik yang beredar. Namun, tanggapan datang dari kubu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui Mardani Ali Sera yang menilai bahwa hubungan keduanya memang menjadi rumit, terutama karena keberadaan Gibran Rakabuming Raka di posisi wakil presiden.
Narasi Pemecah-belah dan Tuduhan Projo
Freddy Damanik dari Projo, organisasi relawan yang sejak lama dikenal sebagai pendukung Jokowi, menyatakan bahwa sejumlah pihak tengah memainkan isu “matahari kembar” dan “pemakzulan Gibran” untuk menciptakan jarak antara Jokowi dan Prabowo. Ia menilai, isu-isu semacam itu sengaja dihembuskan oleh pihak yang kalah dalam Pilpres 2024 untuk menggoyang fondasi pemerintahan Prabowo–Gibran yang baru terbentuk.
Menurut Freddy, strategi ini tidak hanya bertujuan mengguncang stabilitas politik di awal masa pemerintahan, tetapi juga untuk melemahkan posisi politik Jokowi dan Gibran menjelang kontestasi politik berikutnya pada 2029. Ia mengingatkan bahwa ada pihak-pihak yang merasa terancam dengan soliditas kubu pemenang Pilpres 2024, sehingga berupaya menanamkan narasi ketegangan antara dua tokoh utama pemerintahan sebelumnya dan yang sekarang.
Namun, pandangan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan pengamatan dari partai oposisi seperti PKS. Melalui Mardani Ali Sera, PKS menilai bahwa relasi Prabowo dan Jokowi memang tidak sederhana, dan kerumitan itu bukan semata hasil permainan politik pihak luar, melainkan berasal dari dinamika internal pemerintahan sendiri.
Pandangan Mardani Ali Sera: Hubungan yang Rumit karena Gibran
Mardani Ali Sera, politisi senior PKS yang dikenal memiliki pandangan kritis terhadap dinamika kekuasaan, menanggapi pernyataan Projo dengan nada yang lebih analitis. Ia menilai bahwa hubungan Prabowo dan Jokowi sebenarnya idealnya berjalan harmonis, mengingat keduanya pernah berada dalam satu poros politik yang sama pada Pilpres 2024. Akan tetapi, situasi berubah menjadi kompleks karena posisi Gibran Rakabuming Raka—putra sulung Jokowi—menempati posisi sebagai wakil presiden.
Menurut Mardani, fakta bahwa Gibran menjadi pendamping Prabowo di kursi eksekutif menciptakan keseimbangan baru yang tidak mudah diatur. Dalam konteks politik Indonesia, kehadiran figur keluarga mantan presiden di lingkar kekuasaan baru menimbulkan persepsi campur tangan dan tarik-menarik kepentingan. “Kerumitan itu muncul karena Gibran ada di posisi strategis sebagai wakil presiden. Ini membuat publik bertanya-tanya bagaimana dinamika hubungan antara Prabowo dan Jokowi di balik layar,” ujarnya dalam wawancara yang dikutip oleh DetikNews.
Lebih lanjut, Mardani menyebut bahwa ada potensi tumpang tindih pengaruh antara mantan presiden dan presiden aktif. Meski Jokowi tidak lagi menjabat, posisinya sebagai ayah dari wakil presiden membuat hubungan politiknya dengan pemerintahan saat ini tidak sepenuhnya terputus. “Idealnya, hubungan antara presiden dan mantan presiden berlangsung dalam suasana saling mendukung, bukan saling memengaruhi,” tambahnya.
Gibran dan Tantangan Kepemimpinan
Bagi Mardani, posisi Gibran ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mewakili generasi muda dan menjadi simbol regenerasi politik Indonesia. Namun di sisi lain, statusnya sebagai putra mantan presiden menimbulkan beban ekspektasi dan potensi konflik kepentingan.
Ia menyarankan agar Gibran diberikan ruang untuk berkembang secara mandiri di bawah kepemimpinan Prabowo. “Akan lebih baik jika Gibran berperan sebagai wakil presiden yang tumbuh dengan bimbingan Prabowo, bukan seolah menjadi perpanjangan tangan dari pemerintahan sebelumnya,” kata Mardani. Dengan demikian, publik akan menilai bahwa hubungan keduanya bukan hasil dari intervensi keluarga Jokowi, melainkan kerja sama profesional antara presiden dan wakil presiden yang sah.
Pendapat ini mencerminkan kekhawatiran bahwa tanpa batasan yang jelas, posisi Gibran bisa menjadi sumber keretakan antara dua pusat kekuasaan yang sebelumnya saling bersekutu. Dalam politik Indonesia, persepsi publik sering kali memainkan peran penting dalam menentukan stabilitas pemerintahan. Ketika rumor atau isu tentang “matahari kembar” muncul, hal itu dapat menciptakan kesan adanya dualisme kepemimpinan—sesuatu yang dikhawatirkan Mardani akan mengganggu efektivitas pemerintahan Prabowo.
Sistem Presidensial dan Kewenangan Penuh Presiden
Dalam pernyataannya, Mardani juga menegaskan pentingnya memahami kerangka sistem presidensial yang dianut Indonesia. Dalam sistem ini, seluruh kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden, sementara wakil presiden berperan sebagai pendamping yang membantu menjalankan fungsi kenegaraan sesuai mandat yang diberikan.
Ia menilai bahwa agar pemerintahan berjalan efektif, Prabowo harus diberikan keleluasaan penuh untuk memimpin tanpa ada bayang-bayang kekuasaan lain, termasuk pengaruh dari pemerintahan sebelumnya. “Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemegang mandat utama rakyat. Ia harus bisa menjalankan pemerintahan tanpa diganggu siapa pun,” tegasnya.
Mardani menambahkan bahwa tanggung jawab Prabowo sangat besar, terutama dalam membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap. Untuk mencapai hal tersebut, stabilitas politik dan kejelasan arah kepemimpinan menjadi syarat utama. “Kalau politiknya rumit karena tarik-menarik kepentingan pribadi atau keluarga, program-program pembangunan bisa terganggu,” jelasnya.
Antara Loyalitas dan Kemandirian Politik
Hubungan antara Prabowo dan Jokowi memang unik. Setelah bersaing keras pada dua pemilihan presiden sebelumnya, keduanya akhirnya bersatu dalam satu poros politik pada 2024. Jokowi disebut berperan besar dalam mendorong pencalonan Gibran sebagai wakil Prabowo, langkah yang di satu sisi memperkuat elektabilitas pasangan tersebut, tetapi di sisi lain menyisakan pertanyaan tentang loyalitas politik di antara keduanya.
Kini, setelah Prabowo resmi menjabat presiden dan Jokowi kembali ke posisi warga negara biasa, publik menanti bagaimana keduanya akan menata hubungan mereka. Apakah Jokowi akan tetap menjadi penasihat informal bagi pemerintahan baru, atau justru menjaga jarak agar tidak menimbulkan kesan intervensi? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi relevan mengingat Gibran kini duduk di kursi nomor dua republik ini.
Mardani melihat bahwa hubungan mereka tidak perlu diwarnai ketegangan apabila kedua pihak memahami batas-batas kekuasaan masing-masing. “Kalau Jokowi tetap mendukung dari luar tanpa ikut campur, dan Prabowo memberikan ruang bagi Gibran untuk tumbuh secara politik, maka hubungan mereka bisa tetap sehat,” ujarnya.
Dinamika Politik ke Depan
Pernyataan Mardani memunculkan diskursus baru di ruang publik. Banyak pengamat menilai bahwa komentar tersebut menunjukkan realisme politik yang jarang diungkap secara terbuka. Di tengah euforia pemerintahan baru, ia mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan kekuasaan agar tidak muncul kesan bahwa presiden baru hanya meneruskan agenda pendahulunya tanpa independensi.
Jika hubungan Prabowo dan Jokowi bisa dikelola dengan baik, pemerintahan saat ini berpotensi menjadi salah satu yang paling stabil dalam sejarah pasca-reformasi. Namun jika isu-isu seperti “matahari kembar” dan “pemakzulan Gibran” terus digoreng, bukan tidak mungkin hubungan tersebut akan berubah menjadi beban politik yang mengganggu.
Bagi publik, yang terpenting bukanlah drama politik antara tokoh-tokoh besar, tetapi bagaimana pemerintah baru dapat menghadirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Sebab pada akhirnya, efektivitas pemerintahan Prabowo–Gibran akan dinilai bukan dari hubungan personal di antara elite, melainkan dari hasil nyata dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
Dari pernyataan Mardani Ali Sera, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Prabowo dan Jokowi memang menghadapi ujian tersendiri, terutama karena faktor Gibran. Bukan semata-mata karena ada pihak luar yang ingin memecah-belah, tetapi karena realitas politik yang terbentuk dari keberadaan putra mantan presiden di dalam lingkar kekuasaan baru.
Kerumitan ini, jika tidak dikelola dengan bijak, bisa menimbulkan kesalahpahaman dan mengganggu efektivitas pemerintahan. Namun, jika semua pihak memahami peran dan batas masing-masing, relasi tersebut justru bisa menjadi contoh transisi politik yang sehat di Indonesia—di mana kontinuitas kekuasaan dapat terjadi tanpa mengorbankan independensi kepemimpinan.
Dengan begitu, pernyataan Mardani bukan sekadar kritik, melainkan juga pengingat bahwa dalam politik, harmoni tidak lahir dari keakraban semata, melainkan dari kejelasan peran dan penghormatan terhadap mandat rakyat yang sah.
