Abolisi Prabowo Bikin Tom Lembong Bebas, Ferry Irwandi Sindir ‘Pahlawan Kesiangan’ – Apa Maknanya bagi Keadilan?
Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Tidak hanya karena Tom Lembong akhirnya terbebas dari vonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula, tetapi juga karena munculnya berbagai tanggapan dari tokoh masyarakat, termasuk kritik tajam dari content creator Ferry Irwandi. Ia menyoroti bagaimana proses hukum bisa begitu tajam ke bawah namun tumpul ke atas—dan menyebut tindakan Presiden sebagai “pahlawan kesiangan”. Apa sebenarnya makna dan implikasi dari semua ini?
Latar Belakang: Dari Vonis Berat ke Kebebasan Penuh
Thomas Lembong, yang sempat menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM di era Presiden Jokowi, sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia juga didenda sebesar Rp750 miliar, subsidair enam bulan kurungan. Putusan tersebut berkaitan dengan kasus dugaan korupsi dalam pengaturan kuota impor gula pada masa jabatannya.
Namun segalanya berubah ketika pada awal Agustus 2025, Presiden Prabowo mengeluarkan surat abolisi. Melalui keputusan tersebut, seluruh proses hukum terhadap Tom Lembong dihentikan, vonis dinyatakan tidak berlaku, dan ia pun resmi dibebaskan dari Lapas Cipinang. Peristiwa ini sontak memicu berbagai opini dan pertanyaan: apakah abolisi ini bentuk koreksi atas ketidakadilan, ataukah justru bentuk intervensi politik terhadap proses hukum?
Ferry Irwandi dan Kritik atas Penegakan Hukum
Ferry Irwandi, yang dikenal sebagai analis sosial dan content creator di bidang hukum dan kebijakan publik, langsung menanggapi langkah ini lewat sebuah video berjudul “Yang ‘Bermasalah’ Dalam Abolisi Tom Lembong”. Dalam video tersebut, Ferry mengupas tuntas bagaimana proses hukum terhadap tokoh publik seperti Tom Lembong dapat mencerminkan wajah sesungguhnya dari sistem peradilan di Indonesia.
Menurut Ferry, kasus Tom Lembong seharusnya menjadi refleksi bahwa banyak proses penegakan hukum yang tidak steril dari unsur politis. Ia mengkritik lembaga seperti Kejaksaan Agung yang tampak begitu aktif mengejar target pengungkapan kasus besar, namun dalam perjalanannya, justru melahirkan ketimpangan dan polemik. Ferry menyebut bahwa lembaga penegak hukum saat ini tampaknya lebih fokus membangun citra dan statistik keberhasilan, bukan menghadirkan keadilan secara substansial.
Ia menekankan bahwa pencabutan kebebasan seseorang oleh negara harus dilakukan dengan kehati-hatian luar biasa. Dalam sistem hukum yang adil, tidak seharusnya ada vonis tanpa dasar yang kuat, dan jika terjadi kekeliruan, mekanisme koreksi harus dilakukan melalui jalur hukum yang benar dan transparan.
“Pahlawan Kesiangan”: Sebuah Sindiran yang Dalam
Istilah “pahlawan kesiangan” yang disampaikan Ferry menjadi frasa yang viral dalam perbincangan ini. Sindiran tersebut merujuk pada situasi di mana Presiden Prabowo turun tangan memberikan abolisi setelah vonis sudah dijatuhkan dan kehidupan pribadi Tom Lembong sudah porak-poranda akibat status hukumnya. Langkah presiden dianggap terlalu lambat untuk dikategorikan sebagai pembela keadilan, dan lebih menyerupai bentuk penyelamatan yang datang saat semuanya sudah terlambat.
Dalam narasi Ferry, apabila sejak awal proses hukum dilakukan secara profesional dan tidak tendensius, maka Presiden tidak perlu mengeluarkan abolisi. Oleh karena itu, istilah “pahlawan kesiangan” adalah bentuk kritik terhadap sistem yang memperlihatkan ketidakselarasan antara keadilan substantif dan prosedural.
Lebih lanjut, Ferry juga mempertanyakan mengapa tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja lembaga hukum setelah keputusan abolisi ini. Menurutnya, jika Presiden merasa perlu mengintervensi dengan abolisi, maka harus ada akuntabilitas dari para pihak yang terlibat dalam proses hukum sebelumnya.
Reaksi Publik: Dari Simpati hingga Kecurigaan
Momen pembebasan Tom Lembong dari Lapas Cipinang terekam jelas oleh media. Ia keluar dengan wajah cerah, mengenakan pakaian santai, dan menyapa para awak media serta pendukungnya. Gestur tangannya yang menunjukkan simbol “bebas” menyiratkan perasaan lega dan mungkin juga sebagai bentuk pernyataan bahwa ia akhirnya terbebas dari ketidakadilan yang dialaminya.
Namun di sisi lain, tidak sedikit publik yang menyikapi peristiwa ini dengan skeptisisme. Banyak yang mempertanyakan: apakah abolisi ini adalah bentuk pengampunan yang tulus dari presiden, ataukah ini bagian dari agenda politik tertentu?
Beberapa pengamat menyebut bahwa langkah ini bisa saja menjadi bagian dari strategi politik untuk memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin yang humanis dan berpihak pada keadilan. Namun kritik yang muncul tetap tidak bisa dihindari, terutama karena keputusan ini tidak dibarengi dengan pengungkapan jelas alasan abolisi, serta tidak adanya permintaan maaf atau pertanggungjawaban dari pihak penegak hukum yang sebelumnya menjerat Tom.
Makna Abolisi dalam Konteks Hukum Indonesia
Abolisi adalah hak prerogatif presiden berdasarkan UUD 1945. Ia berbeda dengan grasi atau amnesti, karena abolisi diberikan untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang sebelum vonis menjadi berkekuatan hukum tetap. Dalam kasus Tom Lembong, abolisi justru diberikan setelah ia sudah divonis, sehingga menimbulkan kebingungan dan kontroversi mengenai aspek legalitas dan moralitas langkah tersebut.
Secara normatif, presiden memang memiliki kewenangan untuk memberikan abolisi, namun secara etis, keputusan ini tetap harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Transparansi alasan pengambilan keputusan, mekanisme pertimbangan, serta dampaknya terhadap sistem hukum nasional menjadi hal yang sangat krusial dalam menjaga kepercayaan publik.
Menakar Masa Depan: Reformasi Hukum atau Sekadar Simbolik?
Kasus ini menyisakan banyak pelajaran penting. Pertama, perlunya reformasi sistem penegakan hukum agar lebih objektif, transparan, dan bebas dari tekanan politik. Kedua, pentingnya pengawasan publik terhadap penggunaan hak prerogatif presiden, agar tidak menjadi alat politik atau justifikasi atas kesalahan sistemik.
Ketiga, pemerintah harus menyadari bahwa publik semakin kritis dalam melihat peristiwa hukum dan politik. Di era digital, narasi tentang keadilan tidak lagi bisa dikendalikan hanya oleh lembaga resmi. Tokoh-tokoh independen seperti Ferry Irwandi memainkan peran besar dalam membentuk opini publik dan mendorong akuntabilitas.
Terakhir, istilah “pahlawan kesiangan” yang awalnya hanya sindiran, bisa menjadi simbol refleksi mendalam bahwa keadilan yang tertunda adalah keadilan yang gagal. Apapun motif di balik abolisi tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum harus tetap menjadi prioritas utama.
Penutup
Abolisi terhadap Tom Lembong bukan sekadar kisah tentang seorang pejabat yang akhirnya dibebaskan. Ini adalah cermin besar bagi bangsa Indonesia untuk mengevaluasi kembali bagaimana keadilan ditegakkan, siapa yang mengendalikan narasinya, dan bagaimana negara bertanggung jawab terhadap setiap keputusan yang menyangkut hak dan kebebasan warga negaranya.
Di tengah sorotan publik dan kritik tajam, satu pertanyaan besar masih menggantung di udara: apakah kita benar-benar berada di jalur menuju keadilan yang sejati, atau hanya sibuk memoles wajah sistem yang sudah lama retak?
