Duduk Perkara Kebijakan Dedi Mulyadi Larang Study Tour di Jabar, dari Alasan hingga Gelombang Penolakan
Kebijakan larangan study tour yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjadi salah satu isu pendidikan dan pariwisata paling ramai diperbincangkan beberapa bulan terakhir. Keputusan ini memantik pro dan kontra, tidak hanya dari kalangan pelaku pariwisata yang terdampak, tetapi juga dari sebagian kepala daerah di Jawa Barat, orang tua siswa, hingga masyarakat luas.
Di satu sisi, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa study tour sudah jauh menyimpang dari tujuan awal sebagai sarana edukasi. Menurutnya, praktik ini kini lebih condong pada kegiatan rekreasi komersial yang justru menambah beban biaya bagi orang tua murid. Di sisi lain, pihak yang menolak kebijakan ini menilai study tour masih memiliki nilai positif, terutama jika dikemas dengan baik sebagai sarana pembelajaran di luar kelas.
Lantas, bagaimana duduk perkara kebijakan ini? Apa alasan mendasar Dedi Mulyadi tetap teguh melarang study tour? Dan bagaimana pula reaksi publik serta dunia pariwisata terhadap kebijakan kontroversial ini?
Latar Belakang Kebijakan
Larangan study tour di Jawa Barat berangkat dari keprihatinan atas praktik yang berlangsung di lapangan. Menurut Dedi Mulyadi, kegiatan ini sudah bergeser menjadi ajang wisata rekreasi tanpa arah pendidikan yang jelas. Siswa kerap dibawa ke tempat-tempat hiburan yang minim nilai edukatif, sementara biaya yang dibebankan kepada orang tua tidaklah kecil.
Lebih jauh, ia menilai ada praktik eksploitatif dalam kegiatan ini. Siswa diperlakukan seolah-olah sebagai “objek pasar” bagi industri pariwisata dan transportasi. Ada pula tekanan sosial terhadap anak-anak yang tidak mampu ikut serta, sehingga menimbulkan ketimpangan di lingkungan sekolah.
Dedi juga menyinggung fenomena pungutan-pungutan di sekolah yang membebani wali murid, mulai dari biaya perjalanan hingga keperluan tambahan seperti seragam khusus atau atribut kegiatan. Dari sinilah lahir keputusan untuk menghentikan study tour di Jawa Barat dan menggantinya dengan konsep wisata edukatif berbasis lokal.
Alasan Utama Larangan Study Tour
Ada beberapa alasan yang kerap disampaikan Dedi Mulyadi ketika ditanya mengenai dasar kebijakannya:
-
Aspek Pendidikan yang Hilang
Study tour sejatinya dirancang sebagai sarana pembelajaran kontekstual. Namun menurut Dedi, dalam praktiknya, kegiatan ini lebih menyerupai rekreasi murni. Hal ini membuat tujuan pendidikan menjadi kabur. -
Beban Ekonomi Orang Tua
Tidak semua orang tua mampu membayar biaya study tour yang sering kali mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah per anak. Bagi sebagian keluarga, ini menimbulkan dilema antara ingin anak ikut serta atau menanggung beban finansial tambahan. -
Eksploitasi dan Komersialisasi
Dunia pariwisata dianggap terlalu memanfaatkan kegiatan sekolah sebagai ladang bisnis. Siswa seolah menjadi “pelanggan wajib” yang harus mengisi bus pariwisata, hotel, hingga tempat hiburan, meski tidak semuanya relevan dengan pembelajaran. -
Ketimpangan Sosial di Sekolah
Tidak jarang anak yang tidak bisa ikut study tour merasa terasingkan di sekolah. Mereka dianggap berbeda hanya karena faktor ekonomi, yang pada akhirnya menimbulkan luka sosial. -
Dorongan Membenahi Wisata Lokal
Alih-alih mengirim siswa ke luar daerah atau tempat-tempat hiburan, Dedi mendorong sekolah untuk memperkenalkan destinasi wisata lokal yang memiliki nilai budaya, sejarah, dan edukasi. Hal ini diyakini dapat mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar sekaligus memberi pengalaman belajar yang lebih bermakna.
Reaksi dari Pelaku Pariwisata
Kebijakan larangan ini sontak memicu reaksi keras dari pelaku pariwisata, khususnya pengusaha bus, biro perjalanan, dan pengelola destinasi wisata. Mereka menilai study tour adalah salah satu sumber penghasilan utama, terutama di musim liburan sekolah.
Sejumlah organisasi bahkan sempat berencana menggelar unjuk rasa besar-besaran. Namun belakangan, aksi itu dibatalkan setelah melalui komunikasi dengan pemerintah provinsi. Meski demikian, kekecewaan para pelaku pariwisata masih terasa jelas, karena kebijakan ini berpotensi menurunkan pendapatan mereka secara signifikan.
Penolakan dari Kepala Daerah
Tidak hanya pelaku usaha, beberapa kepala daerah di Jawa Barat juga terang-terangan menyatakan keberatan. Setidaknya lima kepala daerah, termasuk Bupati Bandung dan Wali Kota Bandung, menyebut study tour masih relevan dan bermanfaat jika dilakukan dengan pengawasan ketat serta diarahkan ke destinasi yang benar-benar edukatif.
Mereka berpendapat bahwa pelarangan total justru akan menghapus kesempatan anak-anak untuk belajar di luar kelas, berinteraksi dengan lingkungan baru, dan memperluas wawasan.
Dedi Mulyadi Tetap Kukuh
Meski gelombang penolakan datang dari berbagai arah, Dedi Mulyadi menegaskan dirinya tidak akan mencabut kebijakan ini. Ia menyatakan, justru demo dan penolakan tersebut semakin menguatkan pendiriannya bahwa kegiatan study tour selama ini lebih menguntungkan industri pariwisata dibandingkan dunia pendidikan.
“Anak sekolah bukan objek komersial. Mereka berhak mendapatkan pembelajaran yang benar, bukan dijadikan bahan dagangan,” demikian salah satu pernyataan Dedi dalam menegaskan sikapnya.
Solusi yang Ditawarkan
Sebagai gantinya, Dedi Mulyadi mendorong model wisata edukatif berbasis lokal. Menurutnya, Jawa Barat memiliki banyak destinasi budaya, sejarah, dan lingkungan yang bisa dijadikan laboratorium pembelajaran. Dari situs sejarah, museum, hingga desa wisata, semua bisa dioptimalkan untuk kepentingan pendidikan tanpa harus menempuh perjalanan jauh atau mengeluarkan biaya besar.
Ia juga menekankan pentingnya penataan destinasi wisata lokal agar lebih ramah terhadap siswa. Mulai dari kerapihan pedagang, kebersihan lingkungan, hingga kualitas pelayanan harus ditingkatkan. Dengan demikian, wisata lokal tidak hanya menjadi tujuan belajar, tetapi juga sarana membangun kebanggaan terhadap daerah sendiri.
Implikasi Sosial dan Ekonomi
Kebijakan ini tentu memiliki dampak luas. Dari sisi sosial, larangan study tour bisa mengurangi beban ekonomi orang tua dan menekan praktik eksploitatif di sekolah. Namun dari sisi ekonomi pariwisata, ada potensi kerugian besar bagi pelaku usaha transportasi, hotel, dan destinasi yang biasanya menjadi langganan study tour.
Dedi Mulyadi menyadari konsekuensi tersebut, tetapi ia yakin peralihan fokus ke wisata lokal akan membuka peluang baru. Jika digarap dengan serius, pariwisata berbasis edukasi dan budaya lokal justru bisa menghadirkan manfaat ekonomi yang lebih merata kepada masyarakat kecil, bukan hanya pengusaha besar.
Kontroversi yang Belum Usai
Hingga kini, polemik larangan study tour masih menjadi perdebatan hangat. Di kalangan orang tua, sebagian merasa lega karena tidak lagi terbebani biaya tambahan, tetapi sebagian lainnya kecewa karena anak-anak kehilangan kesempatan belajar di luar kelas.
Di kalangan pelaku pariwisata, ada tuntutan agar pemerintah menyediakan solusi nyata bagi penurunan pendapatan mereka. Sementara itu, kepala daerah yang menolak kebijakan ini terus mendorong kompromi, agar larangan tidak berlaku total, melainkan dibarengi aturan yang lebih ketat dan terukur.
Penutup
Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melarang study tour memang bukan keputusan mudah. Di satu sisi, ia ingin melindungi siswa dari eksploitasi, menjaga tujuan pendidikan tetap murni, dan mengurangi beban ekonomi orang tua. Di sisi lain, kebijakan ini mengundang penolakan dari pelaku usaha pariwisata dan sejumlah kepala daerah yang menilai study tour masih memiliki manfaat.
Pada akhirnya, polemik ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana seharusnya pendidikan dan pariwisata berjalan beriringan. Apakah benar study tour sudah tidak relevan, atau justru masih bisa diselamatkan dengan reformasi aturan? Waktu dan kebijakan lanjutan akan menjadi jawaban, namun satu hal yang pasti: Dedi Mulyadi telah meletakkan dasar untuk mengubah paradigma kegiatan belajar di luar kelas di Jawa Barat.
