Heboh! Dedi Mulyadi Dikritik soal Lapangan Kerja, Balas dengan Sindiran Matematika Warga Jabar
Isu ketenagakerjaan kembali menjadi sorotan hangat di Jawa Barat. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, belum lama ini mendapat kritik tajam terkait rendahnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahannya dalam menyediakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan. Alih-alih defensif, Dedi memberikan tanggapan yang mengejutkan sekaligus kontroversial: ia menyindir bahwa salah satu penyebab utama sulitnya masyarakat Jawa Barat bersaing di dunia kerja adalah lemahnya kemampuan dasar berhitung. Sindiran yang bernuansa “matematika” ini langsung menimbulkan perdebatan, apakah hal tersebut hanya sekadar kritik balik kepada masyarakat atau justru membuka pintu solusi praktis dalam menghadapi masalah ketenagakerjaan.
Ketidakpuasan Publik yang Nyata
Sorotan publik terhadap masalah ini berangkat dari hasil survei Litbang Kompas yang dipublikasikan baru-baru ini. Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Jawa Barat belum puas terhadap kebijakan pemerintah provinsi, khususnya terkait lapangan kerja. Angkanya cukup mencolok: 57,6 persen menilai kinerja pemerintah buruk, 7,3 persen menilai sangat buruk, dan hanya 33,4 persen yang menilai baik hingga sangat baik.
Tidak berhenti di situ, 67,2 persen responden menyatakan tidak puas dengan upaya mengurangi pengangguran. Bahkan, 60,4 persen lainnya menilai upaya pengentasan kemiskinan juga belum memberikan hasil yang memadai. Data ini menjadi indikator serius bahwa persoalan lapangan kerja masih menjadi salah satu tantangan utama bagi Jawa Barat, yang notabene merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Hasil survei tersebut menegaskan bahwa persoalan ketenagakerjaan bukan sekadar angka statistik, tetapi menyangkut nasib jutaan keluarga yang membutuhkan kepastian ekonomi. Maka wajar jika kritik pun diarahkan kepada pucuk pimpinan, yakni Dedi Mulyadi.
Respons Tak Terduga: Sindiran Matematika
Menariknya, saat menghadapi kritik ini, Dedi Mulyadi tidak sekadar mengulang janji atau retorika pembangunan yang biasa disampaikan para pejabat publik. Ia justru menyoroti persoalan fundamental yang kerap luput diperhatikan: kemampuan dasar berhitung masyarakat Jawa Barat.
Menurut Dedi, banyak calon tenaga kerja di Jawa Barat yang gagal bersaing dalam seleksi kerja bukan semata karena tidak adanya lapangan kerja, melainkan karena kurangnya kompetensi dasar. Ia mencontohkan, tes masuk perusahaan seringkali menekankan keterampilan logika dan hitungan sederhana, namun masih banyak yang kesulitan menjawab soal dasar seperti penjumlahan, perkalian, atau perhitungan aritmatika sederhana.
Sindiran ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menganggap Dedi sekadar “melempar bola” agar tidak disalahkan atas keterbatasan lapangan kerja. Namun, jika ditelaah lebih dalam, pernyataan ini justru menyinggung aspek penting yang selama ini kurang mendapat perhatian: kualitas sumber daya manusia, khususnya dalam hal pendidikan dasar.
Masalah Kultural dalam Pendidikan
Jika ditarik ke belakang, persoalan lemahnya kemampuan berhitung masyarakat bukanlah hal baru. Banyak survei internasional menunjukkan kemampuan literasi dan numerasi Indonesia masih di bawah rata-rata global. Hal ini berimbas langsung pada kesiapan tenaga kerja menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Dalam konteks Jawa Barat, dengan jumlah penduduk yang sangat besar, kualitas pendidikan yang tidak merata menjadi salah satu penyebab utama. Perbedaan akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan semakin memperlebar kesenjangan. Sementara dunia industri terus menuntut tenaga kerja yang terampil, banyak masyarakat masih berjuang untuk menguasai keterampilan dasar.
Dedi Mulyadi menekankan bahwa masalah ini bukan sekadar teknis, tetapi kultural. Jika masyarakat tidak membiasakan diri berpikir logis dan sistematis sejak dini, mereka akan kesulitan bersaing di pasar kerja modern.
Usulan Solusi: Kursus Matematika Dasar
Pernyataan Dedi bukan hanya sindiran, melainkan juga mengandung tawaran solusi. Ia menyarankan agar pemerintah daerah, lembaga pendidikan, maupun komunitas masyarakat lebih aktif menyelenggarakan kursus matematika dasar. Kursus ini tidak perlu rumit, cukup berfokus pada operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, serta penerapan logika sederhana.
Mungkin sekilas terdengar remeh, namun menurut Dedi, langkah kecil ini bisa membawa dampak besar. Jika calon tenaga kerja mampu menguasai keterampilan dasar berhitung, setidaknya mereka bisa lebih percaya diri menghadapi tes seleksi kerja dan bersaing dengan pelamar dari daerah lain.
Selain kursus matematika dasar, Dedi juga menekankan pentingnya sinkronisasi antara pendidikan, pelatihan vokasi, dan kebutuhan industri. Menurutnya, banyak lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan. Akibatnya, walaupun lowongan tersedia, mismatch antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri tetap tinggi.
Antara Sindiran dan Solusi Nyata
Tanggapan Dedi Mulyadi jelas memicu kontroversi. Sebagian pihak menilai ucapannya sebagai sindiran pedas yang seakan menyalahkan masyarakat atas tingginya angka pengangguran. Namun jika dilihat dari perspektif lain, ucapannya justru bisa menjadi dorongan untuk membenahi akar persoalan yang selama ini terabaikan.
Sindiran soal matematika bisa dimaknai sebagai ajakan agar masyarakat lebih memperhatikan kualitas pendidikan dasar anak-anaknya. Dengan kata lain, kritik balik dari Dedi bukan hanya defensif, tetapi juga reflektif: pemerintah memang punya kewajiban menyediakan lapangan kerja, namun masyarakat juga perlu meningkatkan kualitas diri agar mampu bersaing.
Perspektif Ekonomi dan Sosial
Dalam skala yang lebih luas, pernyataan Dedi juga menyinggung hubungan erat antara pendidikan dan pembangunan ekonomi. Tanpa tenaga kerja yang berkualitas, investasi yang masuk ke Jawa Barat tidak akan optimal. Perusahaan akan kesulitan mencari tenaga kerja yang memenuhi standar, sementara masyarakat akan terus merasa terpinggirkan.
Di sisi lain, tingginya angka pengangguran berpotensi menimbulkan masalah sosial, mulai dari meningkatnya angka kemiskinan hingga potensi kriminalitas. Karena itu, solusi yang ditawarkan tidak bisa hanya bersifat jangka pendek seperti menyediakan lapangan kerja baru, melainkan harus mencakup perbaikan kualitas sumber daya manusia sejak dini.
Menggagas “Matematika Kehidupan”
Pernyataan Dedi Mulyadi juga bisa ditafsirkan secara simbolis. Matematika bukan hanya soal angka, tetapi juga logika berpikir, kemampuan menyusun strategi, serta kecakapan memecahkan masalah. Semua hal ini merupakan keterampilan hidup yang dibutuhkan dalam dunia kerja modern.
Dengan demikian, “sindiran matematika” yang ia lontarkan sebenarnya bisa dimaknai sebagai ajakan untuk memperkuat “matematika kehidupan”: kemampuan berpikir kritis, adaptif, dan solutif dalam menghadapi tantangan.
Jalan Panjang Menuju Perubahan
Meski terkesan sederhana, usulan membuka kursus matematika dasar tetap membutuhkan komitmen serius dari berbagai pihak. Pemerintah daerah harus menyiapkan anggaran, dunia pendidikan harus berinovasi, dan masyarakat sendiri harus berpartisipasi aktif.
Jika dilaksanakan dengan baik, langkah ini bisa menjadi awal dari perbaikan besar. Bayangkan jika setiap lulusan sekolah menengah di Jawa Barat memiliki keterampilan numerasi yang memadai, tentu angka kelulusan seleksi kerja akan meningkat, dan secara bertahap, masalah pengangguran bisa dikurangi.
Penutup: Sindiran yang Mengundang Refleksi
Kritik publik terhadap kinerja pemerintah Jawa Barat adalah hal wajar, terlebih menyangkut isu sensitif seperti lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Namun, respons Dedi Mulyadi yang tidak biasa justru membuka ruang diskusi baru. Sindiran tentang lemahnya kemampuan berhitung masyarakat bisa menjadi pemantik refleksi bersama: sudahkah kita benar-benar menyiapkan generasi muda untuk menghadapi persaingan kerja global?
Alih-alih hanya dipandang sebagai bentuk defensif, sindiran tersebut dapat menjadi titik awal perubahan. Pendidikan dasar yang kuat, pelatihan vokasi yang relevan, serta keterampilan numerasi yang mumpuni akan menjadi modal penting untuk menjawab tantangan ketenagakerjaan di masa depan.
Dengan begitu, Jawa Barat tidak hanya bisa mengurangi angka pengangguran, tetapi juga melahirkan tenaga kerja yang siap bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
