NasDem Copot Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI, Begini Alasannya

 

NasDem Copot Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI, Begini Alasannya

Partai NasDem akhirnya mengambil langkah tegas terhadap dua kadernya, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Keduanya resmi dinonaktifkan dari keanggotaan DPR RI per 1 September 2025. Keputusan ini muncul setelah pernyataan mereka menuai kontroversi dan dianggap mencederai perasaan rakyat di tengah gelombang kritik terhadap tunjangan DPR.



Langkah politik ini sontak menjadi sorotan publik. Sebagai partai yang selama ini dikenal dengan slogan “Gerakan Perubahan,” NasDem menghadapi tekanan besar agar bisa menunjukkan keberpihakan kepada rakyat di saat krisis kepercayaan terhadap DPR sedang memuncak.


Awal Mula Kontroversi

Kasus ini bermula dari pernyataan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach yang viral di media sosial dan memicu kemarahan publik.

Ahmad Sahroni, yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Komisi III DPR, menyebut orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia.” Ucapannya dianggap merendahkan suara masyarakat yang tengah meluapkan kekecewaan mereka terhadap lembaga legislatif.

Sementara itu, Nafa Urbach, yang kala itu menjabat Bendahara Fraksi NasDem dan anggota Komisi IX, juga menjadi sorotan usai menanggapi polemik tunjangan perumahan anggota DPR. Dalam siaran langsung di media sosial, ia mengatakan tunjangan sebesar Rp 50 juta per bulan bukanlah “kenaikan” melainkan “kompensasi,” karena rumah jabatan dialihfungsikan pemerintah. Penjelasan itu dianggap tidak peka terhadap kondisi rakyat yang sedang menghadapi beban ekonomi berat.

Pernyataan keduanya kemudian memicu reaksi keras, baik di dunia maya maupun di jalanan. Kritik pedas bermunculan, sementara aksi unjuk rasa di Jakarta dan berbagai daerah semakin membesar, bahkan berujung kerusuhan.


Langkah Tegas Partai

Melihat situasi yang semakin tak terkendali, Partai NasDem bergerak cepat. Pada Minggu (31/8/2025), surat keputusan resmi dikeluarkan, ditandatangani oleh Ketua Umum Surya Paloh dan Sekjen Hermawi Taslim. Dalam keputusan itu, Sahroni dan Nafa dinyatakan nonaktif dari keanggotaan DPR RI Fraksi NasDem, efektif per 1 September 2025.

Sebelum keputusan final ini, partai sudah lebih dulu memberi sanksi kepada Sahroni dengan mencopot posisinya sebagai Wakil Ketua Komisi III dan memindahkannya ke Komisi I DPR. Sedangkan Nafa Urbach masih aktif di Komisi IX hingga akhirnya turut dinonaktifkan bersama Sahroni.

NasDem menegaskan bahwa keputusan ini diambil untuk merespons aspirasi publik. Menurut Hermawi Taslim, langkah ini adalah bentuk tanggung jawab partai dalam menjaga kepercayaan masyarakat sekaligus menegaskan bahwa kader partai harus berhati-hati dalam bersikap maupun berbicara di ruang publik.


Dampak Sosial dan Politik

Penonaktifan dua figur publik sekaligus politisi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Gelombang protes terhadap DPR sudah berlangsung sejak awal Agustus 2025. Lonjakan kemarahan dipicu oleh berbagai isu, mulai dari sorotan terhadap gaya hidup mewah pejabat hingga kebijakan tunjangan DPR yang dinilai tidak masuk akal.

Rumah pribadi Ahmad Sahroni di Jakarta bahkan sempat digeruduk massa dan dijarah, menjadi simbol kekecewaan masyarakat terhadap perilaku elite politik. Insiden ini memperlihatkan betapa tajamnya jurang antara kemarahan rakyat dengan persepsi politisi di Senayan.

Di media sosial, langkah NasDem menonaktifkan Sahroni dan Nafa mendapat sambutan positif. Banyak warganet menyebutnya sebagai langkah tepat yang menunjukkan partai mau mendengarkan suara rakyat. Namun, ada juga yang menilai penonaktifan saja tidak cukup. Mereka menuntut agar keduanya dipecat total dari partai dan diganti oleh kader lain yang lebih layak.


NasDem dalam Sorotan

Keputusan ini menempatkan Partai NasDem dalam sorotan besar. Publik menunggu apakah langkah serupa akan dilakukan partai lain terhadap kader mereka yang juga mendapat kritik.

NasDem sendiri berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka harus menjaga soliditas internal partai dan memberikan ruang perbaikan bagi kader. Namun di sisi lain, tekanan publik menuntut tindakan yang lebih keras agar kepercayaan masyarakat terhadap partai tidak semakin runtuh.

Langkah penonaktifan ini setidaknya memberi sinyal bahwa NasDem mencoba mengambil jalur tengah: menegur sekaligus meredam amarah publik, tanpa serta-merta melakukan pemecatan permanen. Strategi ini bisa dianggap pragmatis, meski berisiko dianggap setengah hati oleh sebagian kalangan.


Analisis Publik dan Pengamat

Sejumlah pengamat politik menilai keputusan NasDem merupakan strategi penyelamatan citra partai. Dengan gelombang protes yang kian membesar, partai dituntut untuk tidak diam.

Penonaktifan kader yang bermasalah bisa memberi pesan bahwa partai bersedia mendisiplinkan anggotanya. Namun, para pengamat juga mengingatkan bahwa ini hanya solusi sementara. Jika tidak diikuti dengan langkah konsisten memperbaiki komunikasi politik dan sensitivitas sosial kader, maka kasus serupa bisa terulang.

Selain itu, kasus Sahroni dan Nafa memperlihatkan bagaimana kekuatan media sosial kini menjadi faktor penting dalam menentukan nasib politisi. Ucapan yang dianggap merendahkan atau tidak sensitif bisa dengan cepat viral, memicu tekanan besar, dan berujung pada sanksi politik.


Pelajaran Penting bagi Politisi

Kisah ini memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi para politisi, terutama yang aktif di media sosial:

  1. Kehati-hatian dalam berucap
    Pernyataan yang dianggap sepele bisa berdampak besar jika menyinggung perasaan rakyat.

  2. Pentingnya sensitivitas sosial
    Di tengah kondisi ekonomi sulit, pembelaan terhadap tunjangan besar justru akan dianggap melecehkan rakyat.

  3. Peran media sosial sebagai pengawas
    Netizen kini berperan layaknya “mata rakyat” yang bisa menilai dan mengawasi secara langsung perilaku politisi.

  4. Partai harus proaktif
    Organisasi politik wajib mendisiplinkan kadernya agar tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, tetapi juga peka terhadap aspirasi publik.


Apa Selanjutnya?

Meskipun telah dinonaktifkan, status akhir Sahroni dan Nafa di DPR masih menunggu proses lanjutan. NasDem harus menentukan apakah keduanya akan diganti secara permanen melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) atau hanya diberhentikan sementara.

Publik sendiri menanti tindak lanjut yang lebih tegas. Bagi sebagian besar masyarakat, langkah ini bukan sekadar tentang dua orang politisi, melainkan simbol perlawanan terhadap arogansi wakil rakyat yang kerap abai terhadap suara rakyat.

Di sisi lain, keputusan ini bisa menjadi momentum bagi partai-partai lain untuk melakukan introspeksi. Jika tidak ingin kehilangan dukungan rakyat, mereka harus menunjukkan komitmen nyata dalam menegakkan disiplin kader dan mengembalikan kehormatan lembaga DPR.


Kesimpulan

Penonaktifan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI menjadi salah satu peristiwa politik paling signifikan di tahun 2025. Kasus ini menunjukkan betapa cepatnya dinamika politik bisa berubah akibat tekanan publik dan betapa pentingnya kepekaan politisi terhadap kondisi masyarakat.

Langkah NasDem menonaktifkan kedua kadernya adalah upaya meredam krisis kepercayaan sekaligus menjaga citra partai. Namun, tantangan terbesar belum berakhir. Jika tidak disusul dengan reformasi internal dan langkah konkret memperbaiki hubungan dengan rakyat, kasus ini hanya akan menjadi catatan kecil di tengah krisis kepercayaan yang lebih besar.

Pada akhirnya, kasus Sahroni dan Nafa adalah pengingat keras bahwa politik bukan sekadar soal kekuasaan, melainkan soal tanggung jawab moral kepada rakyat. Dan dalam era keterbukaan informasi, suara rakyat akan selalu menemukan jalannya untuk didengar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama