PBB Jadi Sumber Gaduh: 5 Perbedaan Nasib Bupati Pati dan Dedi Mulyadi yang Kontras Habis

 PBB Jadi Sumber Gaduh: 5 Perbedaan Nasib Bupati Pati dan Dedi Mulyadi yang Kontras Habis


Isu pajak daerah yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan kini justru menimbulkan kegaduhan politik dan sosial. Dua figur publik, yakni Bupati Pati Sudewo di Jawa Tengah dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, menjadi sorotan tajam karena kebijakan mereka terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Meski sama-sama berbicara tentang PBB, keduanya menghadapi respons masyarakat yang sangat berbeda, bahkan berbanding terbalik.



Langkah Sudewo untuk menaikkan tarif PBB-P2 hingga ratusan persen menuai protes keras, sementara kebijakan Dedi Mulyadi yang justru meringankan beban warga melalui penghapusan tunggakan malah memanen simpati. Fenomena ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang gaya kepemimpinan, strategi komunikasi, serta implikasi politik yang menyertai setiap keputusan.


Berikut adalah lima perbedaan mencolok yang menjelaskan mengapa nasib kedua pemimpin ini begitu kontras, meski sama-sama berbicara soal pajak rakyat.


1. Arah Kebijakan: Naik Drastis vs Hapus Tunggakan


Perbedaan paling mencolok terletak pada arah kebijakan fiskal yang diambil. Bupati Pati Sudewo membuat keputusan berani namun kontroversial: menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250%. Menurutnya, langkah tersebut diperlukan demi menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menopang pembangunan. Akan tetapi, kenaikan yang terlalu tinggi dalam waktu singkat menimbulkan beban luar biasa bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.


Kebijakan ini seolah mengabaikan kondisi ekonomi warga yang baru saja pulih dari dampak pandemi dan tekanan biaya hidup. Hasilnya, bukan pemasukan tambahan yang didapatkan, melainkan gelombang protes besar yang meluas hingga ke depan kantor bupati.


Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memilih jalur yang berlawanan. Alih-alih membebani, ia justru menginstruksikan agar tunggakan PBB tahun 2024 ke belakang dihapuskan. Langkah ini memberikan napas lega bagi masyarakat, sekaligus membangun citra pemimpin yang memahami kesulitan rakyat. Dengan pendekatan populis, Dedi menilai penghapusan ini dapat meningkatkan kepatuhan pajak di masa mendatang karena masyarakat tidak lagi dibayangi beban tunggakan lama.


2. Respons Publik: Demonstrasi Besar vs Simpati Luas


Perbedaan kebijakan berimbas langsung pada respons publik. Di Pati, kebijakan Sudewo memicu kemarahan warga. Rakyat yang merasa tertekan akhirnya melakukan unjuk rasa besar-besaran. Kantor bupati digeruduk massa, situasi memanas, bahkan keamanan harus diperketat. Gelombang kekecewaan ini menunjukkan jarak yang semakin lebar antara pemerintah daerah dengan warganya.


Kebijakan tersebut juga menimbulkan keresahan psikologis. Banyak warga merasa tidak sanggup menanggung beban pajak yang melonjak drastis, sehingga kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah pun menurun tajam.


Sebaliknya, di Jawa Barat, keputusan Dedi Mulyadi disambut dengan tangan terbuka. Warga menganggap kebijakan penghapusan tunggakan sebagai bentuk keberpihakan nyata kepada rakyat. Tidak ada kericuhan, tidak ada demonstrasi, yang ada hanyalah simpati dan apresiasi. Di mata publik, Dedi tampil sebagai pemimpin yang tidak hanya memikirkan kas daerah, tetapi juga kesejahteraan warganya.


3. Komunikasi Politik: Konfrontatif vs Mengundang Penilaian Publik


Cara seorang pemimpin menyampaikan kebijakan sering kali lebih penting daripada kebijakan itu sendiri. Dalam kasus ini, komunikasi politik Sudewo dianggap bermasalah. Ia dinilai konfrontatif, cenderung arogan, dan kurang membuka ruang dialog. Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan tidak meredakan keresahan, melainkan menambah kekecewaan masyarakat.


Sebaliknya, Dedi Mulyadi menggunakan pendekatan komunikasi yang lebih halus dan strategis. Ia membingkai kebijakan sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat. Salah satu pernyataannya menegaskan bahwa jika kepala daerah tidak mengikuti arah kebijakan ini, biarlah rakyat sendiri yang menilai. Ungkapan ini membuat kebijakan tidak terkesan memaksa, tetapi lebih pada ajakan moral yang memberi ruang bagi publik untuk menilai.


Gaya komunikasi ini terbukti efektif. Publik merasa dilibatkan, tidak ditindas, sehingga simpati mengalir deras.


4. Gaya Kepemimpinan: Dominasi Tertutup vs Kolaborasi Terbuka


Gaya kepemimpinan juga memengaruhi nasib kedua tokoh ini. Sudewo tampil dengan gaya kepemimpinan yang dominan dan terkesan tertutup. Ia lebih banyak memaksakan kebijakan daripada membuka ruang partisipasi publik. Hal ini membuat keputusannya terasa sepihak, sehingga resistensi masyarakat semakin kuat.


Sebaliknya, Dedi Mulyadi menunjukkan gaya kepemimpinan kolaboratif. Ia tidak hanya menurunkan kebijakan dari atas ke bawah, tetapi juga mengemasnya dengan narasi yang mengundang partisipasi publik. Masyarakat merasa menjadi bagian dari kebijakan, bukan hanya objek yang dipaksa tunduk.


Perbedaan gaya inilah yang menjadi kunci mengapa kebijakan serupa soal pajak bisa melahirkan hasil yang begitu berbeda.


5. Konsekuensi Politik: Terjepit vs Menguat


Konsekuensi politik yang ditanggung keduanya sangat bertolak belakang. Bagi Sudewo, kebijakan kenaikan PBB ini berujung pada krisis legitimasi. DPRD Pati menggulirkan hak angket sebagai bentuk pengawasan serius. Sorotan publik meluas hingga ke tingkat nasional. Wakil Ketua DPR RI ikut menyoroti kasus ini, sementara Kementerian Dalam Negeri pun diminta turun tangan. Posisi Sudewo kian terjepit, dan karier politiknya pun berada di ujung tanduk.


Di sisi lain, Dedi Mulyadi justru memperkuat posisinya. Kebijakan penghapusan tunggakan PBB mempertegas citranya sebagai pemimpin populis yang dekat dengan rakyat. Popularitasnya menguat, dan hal ini bisa menjadi modal politik besar di masa depan. Isu fiskal yang biasanya kering dan teknis berhasil ia ubah menjadi platform komunikasi efektif yang membangun simpati luas.


Refleksi dari Dua Kisah Kontras


Kasus Pati dan Jawa Barat memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan fiskal tidak bisa hanya dipandang dari sisi angka dan target. Ada dimensi sosial, psikologis, dan politik yang harus diperhitungkan. Kenaikan pajak tanpa pertimbangan sensitivitas rakyat bisa menjadi bumerang yang menghancurkan legitimasi pemimpin. Sebaliknya, kebijakan yang meringankan beban rakyat dapat menjadi investasi politik jangka panjang.


Dari perbandingan ini, tampak jelas bahwa keberhasilan sebuah kebijakan tidak hanya ditentukan oleh substansinya, tetapi juga oleh cara komunikasi, gaya kepemimpinan, dan strategi politik di baliknya. Dedi Mulyadi berhasil menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal bisa dijadikan alat membangun kedekatan dengan rakyat, sementara Sudewo menjadi contoh bagaimana langkah yang keliru bisa memicu krisis besar.


Penutup


Isu PBB telah menciptakan dua narasi yang sangat berbeda di dua daerah. Di Pati, kenaikan drastis PBB mengundang kemarahan rakyat, mengguncang stabilitas politik, dan menjerat bupati dalam krisis. Sementara di Jawa Barat, penghapusan tunggakan PBB menghadirkan simpati publik, memperkuat posisi politik, dan mengukuhkan citra pemimpin yang peduli.


Dua kasus ini ibarat dua cermin yang memperlihatkan bahwa kebijakan publik bukan hanya soal angka, melainkan soal kepekaan, komunikasi, dan keberpihakan. Dalam dunia politik, satu keputusan bisa menjadi batu sandungan yang menjatuhkan, atau sebaliknya, menjadi pijakan yang mengangkat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama