PBNU Ingatkan PPATK: Pemblokiran Rekening Dormant Dinilai Serampangan, Masyarakat Kecil Jadi Korban
Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir jutaan rekening dormant atau tidak aktif sejak Mei 2025 menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satu kritik paling keras datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Melalui Ketua Lembaga Perekonomian PBNU, Choirul Sholeh Rasyid, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini menilai kebijakan tersebut dilakukan secara serampangan, tidak mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat kecil, serta mengancam stabilitas kepercayaan terhadap sistem perbankan nasional.
Kebijakan PPATK memblokir sekitar 31 juta rekening dormant dengan total dana yang tersimpan mencapai Rp6 triliun, semula dimaksudkan sebagai upaya pencegahan kejahatan keuangan, termasuk korupsi, narkoba, judi daring, dan tindak pidana siber. Namun dalam pelaksanaannya, langkah ini justru memicu kegaduhan publik dan kecemasan luas, terutama dari kalangan masyarakat yang merasa terdampak meskipun tidak pernah terlibat dalam tindak kejahatan apa pun.
Pemblokiran Masif yang Membangkitkan Kepanikan
Langkah PPATK ini menyasar rekening-rekening yang telah lama tidak aktif dan memiliki saldo tertentu yang dianggap tidak bergerak dalam kurun waktu tertentu. PPATK menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari “perlindungan hak nasabah” dan pembersihan rekening-perantara yang berpotensi digunakan untuk aktivitas mencurigakan. Namun sayangnya, dalam prosesnya, tak sedikit dari rekening-rekening yang diblokir itu milik masyarakat biasa, bahkan sebagian merupakan satu-satunya rekening yang mereka punya untuk menyimpan dana hasil kerja keras.
PBNU menyebut langkah tersebut terlalu gegabah. Choirul menilai bahwa pendekatan seperti ini mencerminkan mentalitas teknokratis yang tidak peka terhadap aspek kemanusiaan. Menurutnya, kebijakan semacam ini seharusnya dilakukan melalui kajian mendalam, sosialisasi yang kuat, serta pelibatan aktif dari pihak-pihak perbankan dan lembaga sosial kemasyarakatan.
“Pemblokiran massal ini bisa mencederai kepercayaan publik terhadap sistem keuangan dan perbankan,” ujar Choirul. “Mereka yang menjadi korban bukanlah pelaku kejahatan, tetapi masyarakat kecil yang tidak tahu apa-apa.”
Masyarakat Kecil yang Paling Merasa Dirugikan
Yang paling terdampak dari kebijakan ini adalah masyarakat kelas bawah dan menengah ke bawah yang menyimpan uang dalam jumlah kecil di rekening tabungan yang jarang digunakan. Sebagian dari mereka bahkan menggunakan rekening tersebut hanya untuk menerima bantuan pemerintah atau transfer dari keluarga, tanpa banyak melakukan transaksi lainnya. Dalam sistem PPATK, rekening-rekening seperti ini bisa saja dicurigai sebagai dormant dan terkena kebijakan pemblokiran.
Bayangkan seorang buruh harian, petani di desa, atau pekerja migran yang menyimpan gaji bulanannya dalam satu rekening bank. Karena saldo dan aktivitasnya kecil, rekening itu dianggap pasif. Ketika tiba-tiba tidak bisa diakses, dana yang mereka butuhkan untuk kebutuhan pokok sehari-hari pun tertahan. Tidak ada kejelasan, tidak ada informasi sebelumnya. Yang tersisa hanyalah kebingungan dan kecemasan.
Menurut Choirul, situasi ini menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap masyarakat kecil ketika kebijakan diambil tanpa pendekatan yang inklusif. Ia meminta agar setiap kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas harus menempatkan aspek keadilan sosial di atas kepentingan administratif semata.
Kepercayaan Publik pada Perbankan Bisa Runtuh
PBNU juga menyoroti bahwa langkah seperti ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sektor perbankan. Bank selama ini dikenal sebagai lembaga yang mengutamakan rasa aman dan kepercayaan. Jika masyarakat merasa bahwa tabungan mereka dapat sewaktu-waktu diblokir tanpa pemberitahuan dan prosedur yang transparan, maka rasa aman itu bisa luntur.
Choirul menyatakan bahwa sistem perbankan nasional dibangun di atas fondasi kepercayaan (trust). Jika trust itu rusak, maka dampaknya akan merambat ke berbagai sektor, dari menurunnya partisipasi masyarakat dalam menabung hingga meningkatnya cash-based economy yang tidak sehat dalam jangka panjang.
“Jangan sampai kebijakan jangka pendek ini merusak kepercayaan jangka panjang yang telah dibangun selama puluhan tahun,” ujar Choirul mengingatkan.
Antara Pencegahan Kejahatan dan Perlindungan Nasabah
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penyalahgunaan rekening dormant untuk tindak kriminal adalah isu nyata. Banyak jaringan kriminal menggunakan rekening pasif untuk memutar dana haram, mencuci uang, hingga menyamarkan aliran dana. Dalam hal ini, langkah PPATK bisa dimaklumi dari sudut pandang keamanan nasional.
Namun, pendekatan kebijakan yang menyamaratakan tanpa sistem deteksi yang akurat justru menciptakan efek samping yang serius. Bukannya mencegah kejahatan, kebijakan ini malah memperlakukan masyarakat kecil seolah-olah berpotensi kriminal hanya karena rekeningnya jarang digunakan.
PBNU menegaskan bahwa solusi atas persoalan kejahatan keuangan tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan sepihak. Harus ada integrasi data, pemutakhiran sistem analitik, serta kolaborasi antara lembaga keuangan, aparat hukum, dan organisasi masyarakat sipil agar kebijakan yang diambil tidak membabi buta.
Seruan Evaluasi dan Reformasi
Dalam pernyataannya, PBNU mendesak agar PPATK dan pihak-pihak terkait segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pemblokiran rekening dormant ini. Choirul mengajak semua pihak untuk meninjau kembali langkah-langkah teknokratis yang bisa mencederai dimensi sosial dan kemanusiaan.
PBNU juga mendorong agar pemerintah dan otoritas keuangan membuka ruang dialog dengan masyarakat, termasuk organisasi keagamaan dan sosial, untuk merumuskan kebijakan yang benar-benar adil dan berpihak pada rakyat kecil. Kebijakan seperti pemblokiran rekening dormant tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tetapi harus dikomunikasikan secara terbuka dan dijelaskan secara gamblang kepada publik.
Perlunya Pendekatan Humanis dalam Kebijakan Keuangan
Apa yang ditekankan PBNU dalam kasus ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan pendekatan yang lebih humanis dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan publik, khususnya di sektor keuangan. Terlalu lama, kebijakan fiskal dan moneter dibuat hanya berdasarkan angka dan grafik tanpa melihat manusia-manusia yang berada di balik data tersebut.
Masyarakat kecil, dengan segala keterbatasannya, membutuhkan sistem yang tidak hanya aman tetapi juga adil. Mereka berhak mendapatkan penjelasan, perlindungan, dan rasa tenang ketika menyimpan uang di bank. Dalam konteks inilah, pemblokiran rekening yang dilakukan secara sepihak dan tanpa sosialisasi yang baik menjadi alarm keras bahwa reformasi kebijakan keuangan harus dilakukan segera.
Penutup: Membangun Sistem yang Lebih Adil dan Inklusif
Kritik PBNU terhadap PPATK seharusnya menjadi momen refleksi bagi seluruh pemangku kebijakan di sektor keuangan dan pemerintahan. Ini bukan sekadar soal rekening pasif atau potensi pencucian uang. Ini adalah soal bagaimana negara memperlakukan warganya, khususnya mereka yang paling rentan.
Pemerintah, PPATK, dan otoritas perbankan harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak justru memarjinalkan rakyat kecil. Transparansi, akuntabilitas, dan kepekaan sosial harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan publik. Karena ketika kebijakan serampangan dijalankan tanpa empati, maka yang dirugikan bukan hanya rekening dormant, tetapi kepercayaan publik secara keseluruhan.
