Sahroni Dukung Penangkapan Pedemo Anarkis di DPR Meski Masih di Bawah Umur
Gelombang aksi unjuk rasa di sekitar kompleks Gedung DPR RI kembali menarik perhatian publik. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah kelompok massa turun ke jalan menyuarakan aspirasi politik dan sosialnya. Namun, tidak semua aksi berjalan tertib. Sebagian kelompok melakukan tindakan anarkis yang memicu kericuhan, mengganggu ketertiban umum, bahkan menimbulkan kekhawatiran atas keamanan di pusat lembaga legislatif tersebut. Di tengah sorotan publik, muncul pernyataan tegas dari Sahroni yang mendukung langkah aparat menangkap para pendemo yang bertindak anarkis, meskipun sebagian dari mereka masih berstatus di bawah umur.
Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra, mengingat isu mengenai penanganan anak di bawah umur yang terlibat dalam aksi demonstrasi selalu menjadi topik sensitif. Namun, dari sudut pandang Sahroni, perilaku anarkis yang ditunjukkan para remaja tersebut tidak bisa ditoleransi. Baginya, tindakan destruktif yang merusak fasilitas, mengganggu keamanan, dan berpotensi melukai orang lain adalah bentuk keburukan sikap yang harus ditindak secara tegas, tanpa melihat usia pelakunya.
Aksi Anarkis yang Jadi Sorotan
Demonstrasi di DPR kerap menjadi panggung besar bagi penyampaian aspirasi masyarakat. Namun, ketika suasana berubah menjadi ricuh, esensi dari demonstrasi damai hilang. Aksi anarkis seperti merusak pagar, melempar benda-benda berbahaya, hingga melawan aparat dengan cara kasar, menjadi catatan kelam dari gerakan yang seharusnya memperjuangkan suara rakyat secara tertib.
Dalam kasus terbaru, yang menjadi perhatian bukan hanya karena kericuhan itu sendiri, melainkan karena banyak pelaku yang ternyata masih di bawah umur. Fenomena ini mengundang pertanyaan besar: mengapa remaja belia sudah terlibat dalam aksi keras yang penuh resiko? Apakah mereka benar-benar memahami isu yang mereka perjuangkan, atau justru terjebak dalam arus mobilisasi kelompok yang lebih besar?
Pertanyaan ini pula yang tampaknya mendasari ketegasan Sahroni. Ia menilai bahwa sekalipun para pelaku masih muda, sikap mereka dalam aksi tersebut sudah kelewat batas. Ucapan kerasnya yang menyinggung “brengseknya bersikap” menjadi gambaran kekecewaan terhadap generasi muda yang justru menampilkan perilaku destruktif di ruang publik.
Sikap Tegas Sahroni
Dalam konteks hukum, penegakan aturan memang tidak boleh memandang bulu. Jika seseorang melakukan pelanggaran yang nyata, negara berhak melakukan penindakan. Pandangan inilah yang secara jelas dipegang Sahroni. Ia mendukung langkah aparat untuk menangkap para pelaku, meskipun ada risiko kritik dari sebagian kalangan yang menilai anak di bawah umur seharusnya diperlakukan dengan pendekatan berbeda.
Menurutnya, aksi anarkis bukanlah sekadar kenakalan remaja biasa. Ada garis tipis antara perilaku nakal yang masih bisa dibina, dengan tindakan yang sudah mengarah pada ancaman terhadap ketertiban umum dan keamanan negara. Ketika seorang remaja memilih terlibat dalam aksi merusak dan melawan aparat, maka ia harus siap menghadapi konsekuensi hukumnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi pandangan bahwa usia muda tidak boleh dijadikan tameng untuk lolos dari tanggung jawab. Justru dengan adanya tindakan tegas, ada harapan generasi muda menyadari bahwa kebebasan berekspresi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, bukan dengan cara-cara yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Dilema Penegakan Hukum terhadap Anak
Meski demikian, isu ini tidak lepas dari dilema. Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak yang mengatur perlakuan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Prinsipnya, anak yang melakukan pelanggaran tetap harus diperlakukan dengan pendekatan edukatif dan rehabilitatif, bukan semata-mata represif.
Hal inilah yang seringkali menjadi perdebatan ketika remaja ikut dalam aksi demonstrasi yang berujung ricuh. Di satu sisi, negara wajib menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Di sisi lain, perlindungan anak tetap menjadi prioritas. Maka, jalan tengah yang bisa ditempuh biasanya adalah tetap melakukan penangkapan untuk menghentikan aksi anarkis, namun kemudian memberikan pendampingan hukum, pembinaan, serta pendekatan psikologis yang sesuai dengan usia mereka.
Dalam kerangka ini, dukungan Sahroni pada langkah penangkapan dapat dipahami sebagai bentuk penekanan pada aspek penegakan hukum. Namun, implementasi di lapangan tetap memerlukan mekanisme yang sesuai dengan aturan perlindungan anak agar tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi.
Dampak Sosial dan Politik
Pernyataan Sahroni tentu menimbulkan reaksi beragam di masyarakat. Bagi sebagian pihak, dukungan terhadap penangkapan anak di bawah umur bisa dianggap sebagai sikap keras yang kurang sensitif terhadap perlindungan generasi muda. Namun, bagi pihak lain, sikap tegas ini justru dianggap penting untuk memberikan efek jera dan mencegah semakin maraknya perilaku destruktif di kalangan remaja.
Dari sisi politik, dukungan terhadap aparat bisa dibaca sebagai upaya menjaga wibawa negara di mata publik. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak bisa dibiarkan menjadi arena kericuhan yang berulang kali mengganggu jalannya pemerintahan. Ketegasan dalam menghadapi pendemo anarkis, siapa pun pelakunya, dipandang sebagai langkah penting untuk menjaga stabilitas politik.
Sementara itu, dari sisi sosial, isu ini membuka ruang refleksi tentang peran orang tua, sekolah, dan masyarakat dalam membina generasi muda. Bagaimana mungkin anak-anak di bawah umur sudah terlibat dalam aksi anarkis di jalanan? Apakah mereka mendapat dorongan dari pihak tertentu, ataukah ada kegagalan dalam sistem pendidikan yang tidak mampu menyalurkan energi muda ke arah yang lebih produktif?
Menggugah Kesadaran Kolektif
Jika ditarik lebih jauh, isu ini tidak sekadar soal penangkapan atau penindakan hukum. Ia menjadi cermin dari dinamika sosial yang sedang berlangsung. Generasi muda yang seharusnya menjadi penerus bangsa, justru sebagian terjerumus dalam aksi destruktif yang berpotensi merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Pernyataan keras Sahroni dapat dipahami sebagai alarm agar semua pihak lebih peduli terhadap pembinaan moral dan etika generasi muda. Hukuman mungkin bisa memberikan efek jera sementara, tetapi tanpa solusi jangka panjang, persoalan ini bisa terulang kembali.
Maka, yang dibutuhkan adalah kombinasi antara penegakan hukum yang tegas dan program pembinaan yang konsisten. Aparat bisa menjalankan tugasnya menjaga ketertiban, sementara lembaga pendidikan, komunitas, dan keluarga menjalankan perannya dalam menanamkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, serta cara menyampaikan aspirasi yang lebih konstruktif.
Penutup
Kasus pendemo anarkis di DPR yang sebagian masih di bawah umur memperlihatkan tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan anak. Sikap Sahroni yang mendukung penangkapan mereka menunjukkan pandangan bahwa tindakan destruktif tidak boleh ditoleransi hanya karena pelakunya masih muda.
Namun, tanggung jawab negara tidak berhenti pada penangkapan semata. Perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tetap harus dijalankan sesuai dengan prinsip perlindungan anak, agar mereka tidak kehilangan kesempatan untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.
Pernyataan Sahroni membuka ruang diskusi luas tentang bagaimana masyarakat memandang peran generasi muda dalam gerakan sosial. Apakah mereka sekadar korban mobilisasi, atau justru agen perubahan yang perlu diarahkan dengan bijak? Apa pun jawabannya, satu hal pasti: aksi anarkis tidak bisa menjadi jalan untuk menyampaikan aspirasi. Dan dalam konteks inilah, dukungan terhadap langkah aparat bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga peringatan keras bagi semua bahwa kebebasan berekspresi datang bersama tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban.
