Serikat Pekerja Pariwisata Rencanakan Pemakzulan Dedi Mulyadi, DPRD Jabar Angkat Bicara

 

Serikat Pekerja Pariwisata Rencanakan Pemakzulan Dedi Mulyadi, DPRD Jabar Angkat Bicara

Kebijakan publik kerap menjadi titik tarik ulur kepentingan antara pemerintah daerah, sektor usaha, serta kelompok masyarakat yang terdampak. Hal ini tengah terlihat di Jawa Barat, ketika Surat Edaran (SE) Gubernur Dedi Mulyadi terkait larangan kegiatan study tour menimbulkan polemik besar. Dari satu sisi, pemerintah daerah menilai kebijakan ini penting untuk meringankan beban orang tua siswa. Namun dari sisi lain, pelaku pariwisata menganggapnya sebagai pukulan telak bagi keberlangsungan usaha dan nasib ribuan pekerja.



Kontroversi ini tidak hanya berhenti pada perdebatan mengenai manfaat dan kerugian kebijakan, tetapi bahkan sampai memunculkan wacana pemakzulan gubernur yang sedang menjabat. Serikat Pekerja Pariwisata Jawa Barat (SP3JB) secara terbuka menyatakan akan mendorong proses politik tersebut bila pemerintah tidak segera merevisi aturan. Tidak pelak, isu ini menarik perhatian luas, hingga mendorong DPRD Jawa Barat memberikan tanggapan resmi.


Awal Mula Kontroversi

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 45/PK.03.03/KESRA. Inti dari surat edaran ini adalah pelarangan sekolah mengadakan study tour atau kegiatan rekreasi siswa yang dikemas dalam bentuk piknik berbayar. Alasan yang dikemukakan cukup jelas: kegiatan tersebut dianggap hanya menambah beban biaya bagi orang tua, sementara manfaat pendidikan tidak selalu sebanding dengan pengeluaran.

Sebagai gantinya, pemerintah daerah mendorong sekolah untuk lebih kreatif dengan kegiatan berbasis lingkungan dan kewirausahaan. Contohnya, mengelola sampah, bertani organik, beternak, budidaya perikanan, hingga pelatihan usaha kecil. Dengan cara ini, siswa tetap bisa mendapatkan pengalaman baru, tetapi tanpa harus membebani kantong keluarga.

Namun, apa yang dimaksud sebagai solusi justru menimbulkan persoalan baru. Bagi dunia pariwisata, larangan study tour berarti hilangnya salah satu sumber pemasukan utama. Sektor transportasi, perhotelan, restoran, dan destinasi wisata selama ini mendapat limpahan keuntungan dari tradisi study tour sekolah. Saat kegiatan itu dihentikan, roda ekonomi mereka tersendat.


Reaksi Serikat Pekerja Pariwisata

SP3JB langsung bersuara lantang menentang kebijakan tersebut. Menurut koordinator mereka, Herdi Sudardja, larangan total study tour tidak hanya berdampak pada perusahaan besar, tetapi juga pekerja lapangan. Data internal yang mereka miliki menunjukkan lebih dari 2.500 orang di berbagai daerah Jawa Barat kehilangan penghasilan akibat aturan ini.

Serikat menilai kebijakan gubernur bertentangan dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada pasal yang melarang kepala daerah mengeluarkan kebijakan yang merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasi kelompok tertentu. Dengan menghapus ruang usaha pariwisata terkait study tour, mereka berpendapat gubernur telah menutup akses mata pencaharian sebagian masyarakat.

SP3JB menegaskan bahwa keberatan mereka bukan soal adanya regulasi agar study tour tidak dijadikan ajang komersialisasi. Mereka mendukung pengawasan agar sekolah tidak membebankan biaya berlebihan. Namun, larangan total yang menghapus peluang rekreasi siswa dinilai tidak adil. Dari sinilah muncul ancaman serius: jika DPRD tidak segera menyalurkan aspirasi mereka, opsi pemakzulan gubernur akan diupayakan.


Ancaman Pemakzulan sebagai Langkah Politik

Wacana pemakzulan terhadap seorang kepala daerah bukanlah hal sepele. Proses tersebut memerlukan dasar hukum kuat, pembuktian pelanggaran, serta mekanisme politik yang panjang. Namun bagi SP3JB, opsi ini dianggap relevan karena mereka menilai gubernur telah melanggar aturan yang lebih tinggi.

Ancaman pemakzulan ini sebenarnya menjadi strategi tekanan politik agar suara mereka didengar. Dengan menyebut pasal dalam UU Pemerintahan Daerah, SP3JB berusaha membangun legitimasi bahwa tuntutan mereka bukan sekadar protes ekonomi, melainkan juga soal pelanggaran hukum tata pemerintahan.

Bagi sebagian kalangan, sikap SP3JB menunjukkan bahwa sektor pariwisata sedang berada di titik rawan. Industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini cukup sensitif terhadap kebijakan daerah. Larangan study tour langsung memangkas rantai ekonomi dari perusahaan otobus, agen perjalanan, pemandu wisata, hingga warung kecil di sekitar destinasi.


Tanggapan DPRD Jawa Barat

Melihat semakin panasnya situasi, DPRD Jawa Barat akhirnya buka suara. Wakil Ketua DPRD, Ono Surono, menyatakan bahwa isu pemakzulan sama sekali tidak relevan. Menurutnya, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan gubernur melalui SE tersebut. Kebijakan itu, katanya, murni dibuat untuk meringankan beban orang tua siswa.

Ono menjelaskan, pemakzulan tidak bisa dilakukan hanya karena kebijakan dianggap merugikan sebagian pihak. Harus ada bukti jelas bahwa kepala daerah melanggar aturan atau melakukan tindak pidana. Dalam kasus SE larangan study tour, unsur tersebut tidak terpenuhi.

Namun demikian, DPRD tidak menutup mata terhadap keresahan para pelaku pariwisata. Mereka justru mendorong SP3JB untuk menyusun data konkret. Data ini harus memuat jumlah pekerja yang kehilangan mata pencaharian, perusahaan otobus yang merugi, hingga penurunan omzet perhotelan dan kuliner. Dengan informasi akurat, DPRD bisa mempertemukan pelaku usaha, dinas terkait, dan gubernur untuk mencari jalan keluar.


Benturan Kepentingan: Pendidikan vs Ekonomi

Pertentangan ini memperlihatkan benturan dua kepentingan yang sama-sama penting. Di satu sisi, ada upaya pemerintah daerah untuk menjaga agar dunia pendidikan tidak berubah menjadi beban finansial keluarga. Dalam era biaya hidup yang semakin tinggi, larangan study tour bisa dipandang sebagai langkah melindungi rakyat kecil.

Di sisi lain, ada industri pariwisata yang sudah lama bergantung pada kegiatan tersebut. Tidak bisa dipungkiri, study tour sekolah selama bertahun-tahun menjadi salah satu penopang ekonomi lokal di berbagai kota wisata. Transportasi bus pariwisata, hotel kelas menengah, restoran lokal, hingga pedagang suvenir sangat bergantung pada aktivitas rombongan pelajar.

Jika larangan berlaku tanpa kompromi, maka ribuan pekerja kehilangan penghasilan. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, hal ini terasa berat. Benturan kepentingan inilah yang membuat isu berkembang hingga ke ranah politik pemakzulan.


Apa yang Bisa Dipelajari?

Kasus ini memberi beberapa pelajaran penting bagi tata kelola kebijakan publik. Pertama, kebijakan yang baik harus mempertimbangkan semua pemangku kepentingan. Niat baik untuk melindungi siswa dan orang tua seharusnya tidak dilakukan dengan menutup mata terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan.

Kedua, data konkret menjadi kunci. DPRD telah meminta bukti kerugian ekonomi dari SP3JB. Hal ini penting agar diskusi tidak berhenti pada klaim sepihak. Data valid akan memudahkan pencarian solusi kompromi, misalnya dengan membuat aturan study tour yang lebih ketat tanpa melarang sepenuhnya.

Ketiga, ancaman pemakzulan harus dipandang hati-hati. Pemakzulan adalah instrumen politik yang ekstrem. Menggunakannya sebagai senjata dalam perdebatan kebijakan bisa berisiko menciptakan preseden buruk. Sebaiknya, jalur dialog dan revisi aturan lebih dikedepankan.


Jalan Tengah yang Mungkin

Alih-alih mempertahankan larangan total, pemerintah daerah sebenarnya bisa mencari jalan tengah. Misalnya, mengatur study tour agar lebih murah, transparan, dan edukatif. Sekolah bisa diwajibkan memilih destinasi lokal dengan biaya terjangkau, melibatkan UMKM, dan memastikan ada nilai pembelajaran yang sesuai kurikulum.

Dengan demikian, siswa tetap mendapat pengalaman rekreasi, orang tua tidak terlalu terbebani, dan sektor pariwisata tetap berdenyut. Jika pemerintah, DPRD, dan serikat pekerja mau duduk bersama, jalan tengah semacam ini bukan mustahil dicapai.


Penutup

Polemik larangan study tour di Jawa Barat memperlihatkan bagaimana sebuah kebijakan bisa memicu reaksi luas dari masyarakat. Dari niat melindungi orang tua siswa, kebijakan ini berkembang menjadi isu politik yang bahkan menyeret ancaman pemakzulan gubernur.

SP3JB menilai ribuan pekerja pariwisata menjadi korban, sementara DPRD menegaskan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan. Kini, semua pihak menunggu langkah lanjutan: apakah pemerintah daerah akan merevisi aturan, ataukah akan tetap mempertahankan kebijakan dengan risiko perlawanan semakin besar.

Satu hal yang pasti, perdebatan ini mengingatkan bahwa kebijakan publik tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu menyentuh berbagai kepentingan yang saling bertaut, sehingga memerlukan keseimbangan, dialog, dan data konkret sebagai pijakan bersama.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama