Baru Sehari Jabat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa Diterpa Gelombang Demo dan Desakan Dicopot
Baru sehari menjabat sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa langsung menghadapi badai kritik, demo mahasiswa, hingga tuntutan pencopotan dari jabatannya. Pergantian kabinet yang semestinya menghadirkan energi baru justru terseret dalam pusaran kontroversi akibat pernyataannya terkait tuntutan rakyat yang dikenal sebagai “17+8”. Kasus ini memperlihatkan betapa cepatnya dinamika politik dan respons publik di era media sosial, sekaligus menjadi ujian pertama bagi seorang menteri yang baru saja dilantik.
Latar Belakang Pelantikan
Pada 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet yang cukup mengejutkan publik. Salah satu perubahannya adalah penggantian Sri Mulyani Indrawati dari kursi Menteri Keuangan, posisi strategis yang memegang kendali atas kebijakan fiskal negara. Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom yang sebelumnya dikenal sebagai Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ditunjuk sebagai penggantinya.
Banyak pihak menaruh harapan bahwa kehadiran Purbaya mampu membawa stabilitas dan kebijakan baru yang sejalan dengan arah pemerintahan. Namun, hanya dalam hitungan jam setelah resmi menjabat, nama Purbaya langsung menghiasi pemberitaan dengan nada kontroversial, bukan karena kebijakan yang ia keluarkan, melainkan ucapan yang dianggap menyinggung aspirasi masyarakat.
Ucapan yang Memicu Polemik
Kontroversi bermula saat Purbaya ditanya mengenai sikapnya terhadap “tuntutan 17+8”, sebuah kumpulan desakan yang belakangan ramai digaungkan berbagai elemen masyarakat. Alih-alih memberi jawaban substantif, ia menyatakan belum membaca atau mempelajari tuntutan tersebut. Yang lebih memantik reaksi, ia menyebut tuntutan itu sebagai suara dari sebagian kecil rakyat. Ia bahkan menyinggung bahwa mungkin ada orang-orang yang merasa terganggu hidupnya masih kurang.
Pernyataan sederhana ini langsung meledak di ruang publik. Di era ketika sensitivitas terhadap aspirasi masyarakat begitu tinggi, ucapan Purbaya dianggap meremehkan suara rakyat. Dalam waktu singkat, potongan video dan kutipan pernyataannya menyebar luas di media sosial, memicu banjir kritik dari netizen.
Respon Cepat Publik dan Mahasiswa
Gelombang reaksi tidak berhenti di dunia maya. Hanya sehari setelah pelantikan, BEM Universitas Indonesia menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR pada 9 September 2025. Mereka membawa spanduk, orasi, dan tuntutan yang jelas: Presiden diminta segera mencopot Purbaya dari jabatan Menteri Keuangan. Menurut mereka, pernyataan Purbaya tidak hanya menunjukkan ketidakpekaan terhadap kondisi masyarakat, tetapi juga merendahkan nilai perjuangan dalam tuntutan 17+8 yang dianggap mewakili keresahan luas.
Aksi BEM UI menjadi simbol bahwa mahasiswa masih memegang peran sebagai motor penggerak kritik sosial. Dari jalanan hingga ruang digital, suara penolakan terhadap Purbaya semakin menguat. Berbagai tagar menuntut pencopotannya menjadi trending di media sosial, menandakan bahwa gelombang ketidakpuasan datang dari berbagai lapisan.
Permohonan Maaf yang Kontroversial
Menanggapi tekanan publik, Purbaya akhirnya menyampaikan permintaan maaf. Ia mengakui bahwa dirinya masih baru sebagai pejabat publik, belum terbiasa menghadapi sorotan media dan opini masyarakat yang begitu cepat. Menurutnya, ucapannya bisa saja dipelintir atau disalahartikan, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan pendapat ke depan.
Meski demikian, permintaan maaf tersebut tidak sepenuhnya meredakan amarah publik. Bagi sebagian pihak, ucapan awal Purbaya telah meninggalkan luka yang sulit ditutup hanya dengan satu pernyataan maaf. Kritik yang muncul menegaskan bahwa pejabat publik dituntut memiliki kepekaan tinggi, terutama ketika berbicara mengenai aspirasi rakyat.
Inti Permasalahan: Komunikasi Publik
Kasus ini menyoroti betapa pentingnya komunikasi publik dalam dunia politik modern. Sebagai Menteri Keuangan, Purbaya tidak hanya dituntut menguasai angka, data, dan kebijakan fiskal, tetapi juga harus mampu membangun narasi yang meyakinkan rakyat. Pernyataan yang dianggap meremehkan atau kurang empati dapat berakibat fatal, apalagi ketika disampaikan di awal masa jabatan.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana kecepatan arus informasi di media sosial membuat ruang untuk salah bicara semakin sempit. Kesalahan sekecil apa pun dapat langsung viral, diperbincangkan, dan dikritisi secara masif. Dalam konteks ini, komunikasi publik bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, melainkan fondasi legitimasi seorang pejabat.
Isu Representasi dan Sensitivitas
Pernyataan Purbaya yang menyebut tuntutan 17+8 hanya mewakili sebagian kecil rakyat dinilai problematis. Hal ini menyentuh isu representasi: siapa yang berhak menentukan apakah sebuah tuntutan sahih mewakili rakyat atau tidak? Dalam demokrasi, setiap suara warga negara berhak dihargai. Apalagi jika tuntutan itu lahir dari keresahan sosial yang nyata.
Di sinilah sensitivitas pejabat diuji. Pernyataan yang menyinggung bisa dengan mudah dianggap sebagai tanda arogansi kekuasaan, terutama ketika diucapkan oleh seorang pejabat baru yang belum membuktikan kinerjanya. Tidak mengherankan jika publik menanggapi dengan keras.
Dampak Politik dan Psikologis
Dampak langsung dari kasus ini adalah munculnya desakan pencopotan Purbaya hanya sehari setelah menjabat. Hal ini tentu menjadi beban politik bagi Presiden Prabowo, yang baru saja merombak kabinet dengan harapan memperkuat legitimasi pemerintahannya. Jika tekanan publik terus membesar, isu ini berpotensi menodai stabilitas politik dalam jangka pendek.
Secara psikologis, kasus ini juga memberi tekanan berat pada Purbaya. Seorang pejabat yang baru saja dilantik idealnya diberi ruang untuk bekerja dan membuktikan diri. Namun, kini ia harus menghadapi krisis kepercayaan yang bisa membatasi ruang geraknya. Beban ganda sebagai pengelola fiskal negara dan “pejabat bermasalah” tentu bukan situasi yang mudah.
Peran Mahasiswa dan Masyarakat Sipil
Kehadiran BEM UI dalam aksi protes memperlihatkan konsistensi mahasiswa dalam mengawal kebijakan negara. Sejak era reformasi, mahasiswa selalu menjadi suara kritis terhadap pemerintah, terutama ketika ada indikasi pengabaian terhadap aspirasi rakyat. Aksi mereka bukan sekadar reaksi spontan, melainkan sinyal bahwa masyarakat sipil tidak akan tinggal diam ketika pejabat publik gagal menunjukkan empati.
Selain itu, masyarakat luas melalui media sosial ikut menguatkan tekanan. Kombinasi aksi jalanan dan digital activism menjadikan kasus ini tidak bisa diabaikan. Dalam konteks modern, gerakan hibrida semacam ini terbukti ampuh dalam mengguncang posisi politik seseorang.
Tantangan Besar bagi Purbaya
Krisis ini menjadi ujian awal yang sangat berat bagi Purbaya Yudhi Sadewa. Jika ia berhasil memperbaiki komunikasi dan menunjukkan kinerja nyata dalam bidang fiskal, bukan tidak mungkin kontroversi ini akan perlahan mereda. Namun, jika gagal, tuntutan pencopotannya bisa semakin menguat dan menodai kredibilitas pemerintah.
Tantangan lainnya adalah membangun kembali kepercayaan publik. Untuk itu, ia perlu menunjukkan keberpihakan pada kepentingan rakyat melalui kebijakan konkret. Langkah-langkah seperti transparansi anggaran, program perlindungan sosial, hingga keberanian menghadapi isu korupsi bisa menjadi cara untuk membuktikan komitmen.
Pelajaran dari Kasus Ini
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil:
-
Komunikasi adalah kunci: Seorang pejabat publik tidak hanya bekerja di balik meja, tetapi juga harus pandai menyampaikan pesan yang menenangkan publik.
-
Empati tidak bisa ditawar: Pernyataan yang merendahkan suara rakyat akan selalu berakibat buruk, apalagi ketika datang dari pejabat tinggi.
-
Peran masyarakat sipil penting: Demonstrasi mahasiswa dan tekanan publik membuktikan bahwa kontrol sosial tetap hidup dan berfungsi.
-
Era media sosial menuntut kewaspadaan: Apa yang diucapkan bisa langsung viral, sehingga kehati-hatian menjadi mutlak.
Penutup
Kasus yang menimpa Purbaya Yudhi Sadewa hanya sehari setelah ia menjabat sebagai Menteri Keuangan menjadi pengingat bahwa jabatan publik bukan sekadar soal kapasitas teknis, tetapi juga soal komunikasi, empati, dan sensitivitas terhadap aspirasi rakyat. Dalam hitungan jam, legitimasi bisa dipertanyakan, kepercayaan bisa terkikis, dan tekanan politik bisa membesar.
Apakah Purbaya mampu keluar dari badai ini atau justru terhempas oleh gelombang kritik? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun, jelas bahwa sejak hari pertamanya menjabat, ia telah dihadapkan pada pelajaran paling penting dalam politik: kata-kata seorang pejabat publik memiliki bobot yang tak bisa diremehkan.
