Menkeu Purbaya Cerita Dicap Sok Pintar saat Bicara Target Ekonomi RI Tumbuh 6%
Optimisme ekonomi Indonesia kembali menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan pandangannya tentang potensi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Purbaya menyinggung peluang Indonesia untuk mencapai laju pertumbuhan di kisaran 6–7 persen. Namun, pernyataan ini justru menuai tanggapan beragam. Ada yang menyebutnya sebagai bentuk optimisme, tetapi tidak sedikit pula yang menilainya terlalu ambisius, bahkan dianggap “sok pintar” atau “sok tahu”.
Pernyataan Purbaya seakan membuka kembali diskusi lama mengenai sejauh mana ekonomi Indonesia bisa berlari lebih cepat. Apalagi, selama hampir satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di kisaran 5 persen. Mimpi untuk menembus level lebih tinggi, seperti pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah mencapai sekitar 6 persen, kini kembali dihidupkan. Namun, apakah target tersebut realistis, dan apa saja tantangan yang mengintai?
Optimisme yang Dianggap Terlalu Berani
Purbaya dengan lugas mengakui bahwa ia kerap dicap sok pintar ketika menyampaikan target pertumbuhan di atas rata-rata. Menurutnya, pernyataan itu bukan sekadar retorika kosong, melainkan refleksi dari data dan pengalaman masa lalu. Indonesia pernah membuktikan bahwa pertumbuhan di atas 6 persen bukan hal mustahil.
Dalam pandangan Menkeu, potensi besar itu dapat diwujudkan apabila sektor swasta diberi ruang yang lebih luas untuk menjadi motor penggerak ekonomi. Pemerintah, katanya, hanya perlu menciptakan iklim yang kondusif melalui kebijakan fiskal, regulasi yang ramah investasi, serta dukungan infrastruktur. Bila kondisi ini terbentuk, maka perekonomian nasional bisa melaju lebih cepat.
Namun demikian, optimisme itu tidak serta-merta diadopsi dalam target resmi pemerintah. Angka yang tercantum dalam APBN 2026 jauh lebih moderat, yakni 5,4 persen. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa pertumbuhan tinggi butuh fondasi yang kuat dan tidak bisa hanya bertumpu pada harapan.
Realitas di Lapangan Masih Berat
Meski wacana pertumbuhan 6–7 persen menggoda, situasi aktual perekonomian Indonesia masih menyimpan sejumlah tantangan. Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino dari Fraksi PDIP, menyoroti fakta bahwa berbagai persoalan struktural belum sepenuhnya terselesaikan.
Pertama, masalah ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi di berbagai sektor, terutama di industri padat karya. Pengangguran memang menurun secara statistik, tetapi di lapangan dampaknya masih terasa, terutama pada kelompok rentan dan pekerja muda.
Kedua, daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Meski tingkat inflasi relatif terkendali, harga kebutuhan pokok yang tinggi membuat konsumsi rumah tangga—sebagai tulang punggung PDB—belum bisa melaju dengan stabil.
Ketiga, beban fiskal juga menjadi tantangan tersendiri. Defisit APBN diproyeksikan mencapai 2,48 persen, sementara utang jatuh tempo pada tahun berjalan cukup besar. Hal ini menuntut kehati-hatian pemerintah dalam mengelola belanja, agar ambisi pertumbuhan tidak berbenturan dengan stabilitas keuangan negara.
Keempat, lingkungan global masih penuh ketidakpastian. Perlambatan ekonomi Tiongkok, tensi geopolitik, serta fluktuasi harga komoditas internasional menambah lapisan risiko yang bisa memengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
Belajar dari Masa Lalu
Purbaya menekankan bahwa target pertumbuhan tinggi bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 6 persen, terutama ketika harga komoditas sedang tinggi dan investasi asing masuk deras.
Namun, kondisi tersebut tidak otomatis terulang. Era Presiden Joko Widodo menunjukkan realitas berbeda, di mana pertumbuhan lebih banyak tertahan di kisaran 5 persen. Faktor global, pandemi COVID-19, serta kompleksitas struktural domestik membuat lompatan pertumbuhan menjadi lebih sulit.
Dengan demikian, pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa pertumbuhan tinggi membutuhkan kombinasi faktor yang tepat: stabilitas makro, keberanian reformasi struktural, serta momentum eksternal yang mendukung.
Dukungan dari Legislator, dengan Catatan
Meski memberikan catatan kritis, anggota DPR tetap menyambut baik semangat optimisme yang dibawa Purbaya. Bahkan, Harris Turino menyebut bahwa Presiden Prabowo sempat melempar target pertumbuhan yang lebih tinggi lagi, yakni 8 persen. Angka itu jelas ambisius, namun mencerminkan cita-cita besar untuk mendorong ekonomi Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan menengah.
Harris menilai, untuk naik dari 5,4 persen ke 6 atau 7 persen, ada banyak parameter yang harus dibenahi. Antara lain, memperbaiki kualitas investasi, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mendorong riset dan inovasi, serta memperluas basis industri manufaktur. Tanpa itu semua, target tinggi hanya akan menjadi jargon politik.
Antara Optimisme dan Realisme
Pernyataan Purbaya memperlihatkan tarik-menarik antara optimisme dan realisme dalam kebijakan ekonomi nasional. Di satu sisi, pemerintah perlu menanamkan harapan bahwa ekonomi Indonesia mampu tumbuh lebih cepat untuk menyejahterakan rakyat. Di sisi lain, kebijakan harus tetap berbasis data dan analisis, bukan sekadar impian yang sulit diwujudkan.
Target resmi 5,4 persen di APBN 2026 bisa dianggap sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah. Angka tersebut realistis dengan mempertimbangkan kondisi global dan domestik. Namun, membuka ruang diskusi tentang potensi 6–7 persen penting agar agenda reformasi dan inovasi terus berjalan.
Ruang Bagi Sektor Swasta
Salah satu poin penting dari Purbaya adalah peran sektor swasta. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan tinggi tidak bisa hanya mengandalkan belanja pemerintah. Dunia usaha harus diberi keleluasaan untuk berkembang melalui kebijakan yang pro-bisnis.
Ini mencakup penyederhanaan regulasi, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas tenaga kerja, hingga pengembangan infrastruktur digital. Dengan cara itu, investor akan lebih percaya diri menanamkan modal, dan sektor produktif akan tumbuh lebih cepat.
Tantangan Struktural yang Perlu Direspons
Agar ambisi pertumbuhan tinggi tidak hanya menjadi wacana, ada beberapa isu struktural yang mendesak untuk ditangani:
-
Peningkatan kualitas SDM – Pendidikan dan pelatihan vokasi perlu ditingkatkan agar tenaga kerja siap bersaing di era teknologi tinggi.
-
Diversifikasi ekonomi – Indonesia masih terlalu bergantung pada komoditas. Industri manufaktur dan teknologi harus lebih dikembangkan.
-
Reformasi birokrasi – Proses perizinan yang cepat dan transparan menjadi kunci agar iklim investasi lebih sehat.
-
Stabilitas politik dan hukum – Kepastian hukum sangat berpengaruh terhadap keputusan investor.
-
Infrastruktur berkelanjutan – Selain fisik, infrastruktur digital juga menjadi fondasi pertumbuhan jangka panjang.
Jalan Panjang Menuju Pertumbuhan Tinggi
Mewujudkan pertumbuhan ekonomi 6–7 persen, bahkan hingga 8 persen seperti yang diharapkan Presiden Prabowo, jelas bukan perkara mudah. Namun, optimisme tetap diperlukan agar bangsa ini tidak terjebak dalam pesimisme.
Purbaya melalui pernyataannya mencoba menyalakan kembali semangat itu. Ia ingin mengingatkan bahwa Indonesia punya potensi besar, asal bisa mengelola sumber daya secara efektif dan menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi.
Pada akhirnya, masyarakat akan menilai bukan dari target yang diumumkan, tetapi dari capaian nyata di lapangan. Jika pemerintah mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya beli, menjaga stabilitas harga, serta memperkuat fondasi fiskal, maka optimisme pertumbuhan tinggi akan mendapat legitimasi.
Penutup
Cerita Menkeu Purbaya yang dicap “sok pintar” saat menyebut target pertumbuhan ekonomi 6–7 persen mencerminkan dilema klasik dalam ekonomi: antara harapan besar dan realitas di lapangan. Optimisme perlu untuk membangkitkan semangat, tetapi realisme juga penting agar kebijakan tetap membumi.
Indonesia memang pernah tumbuh 6 persen lebih, dan bukan mustahil untuk mengulanginya. Namun, jalan ke sana dipenuhi tantangan: dari kondisi global yang penuh ketidakpastian, struktur ekonomi yang masih rapuh, hingga beban fiskal yang harus dijaga. Sementara itu, target 5,4 persen dalam APBN 2026 menunjukkan bahwa pemerintah tetap berhati-hati, sembari membuka ruang diskusi tentang potensi yang lebih tinggi.
Apapun pandangan publik terhadap pernyataan Menkeu Purbaya, satu hal jelas: ambisi pertumbuhan tinggi hanya bisa terwujud jika pemerintah, swasta, dan masyarakat bergerak bersama, dengan strategi yang konsisten dan keberanian melakukan reformasi nyata.
