Roy Suryo Bongkar 4 Kejanggalan Fatal Ijazah Gibran, Disebut Dagelan Srimulat
Isu keabsahan ijazah dan riwayat pendidikan kerap menjadi sorotan di panggung politik Indonesia. Setelah sebelumnya muncul polemik tentang ijazah Presiden Joko Widodo, kini giliran sang putra sekaligus Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, yang diterpa pertanyaan serius soal legitimasi dokumen pendidikannya. Kali ini, sorotan tajam datang dari pakar telematika Roy Suryo yang secara terbuka mengungkap adanya empat kejanggalan fatal dalam riwayat pendidikan Gibran. Bahkan, Roy menyebut bahwa kasus ini sudah menyerupai dagelan Srimulat, sebuah sindiran keras yang menggambarkan betapa lucunya ironi politik dan birokrasi di negeri ini.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam latar belakang polemik, empat poin kejanggalan yang disampaikan Roy Suryo, konteks hukum yang menyertainya, serta potensi dampak yang bisa muncul dari kontroversi ini.
Latar Belakang Polemik
Nama Gibran Rakabuming Raka bukanlah sosok asing di dunia politik. Sebagai putra sulung mantan Presiden Jokowi sekaligus Wakil Presiden aktif, ia memegang posisi strategis dalam roda pemerintahan. Namun, sorotan publik terhadap dirinya tidak hanya sebatas pada kinerja politik, melainkan juga pada riwayat akademik yang menjadi syarat formal dalam karier politik.
Polemik ini mencuat setelah seorang warga bernama Subhan Palal mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatan tersebut, Subhan meminta agar status Gibran sebagai Wakil Presiden dibatalkan karena dianggap tidak memenuhi syarat pendidikan minimal, yakni lulusan SMA atau sederajat. Gugatan itu tidak main-main, karena turut menyertakan tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil yang fantastis, mencapai Rp125 triliun.
Di tengah panasnya isu ini, Roy Suryo tampil memberikan analisisnya. Sebagai pakar yang kerap mengulas dokumen dan kejanggalan administratif, ia menyoroti empat hal yang menurutnya sangat janggal dalam perjalanan pendidikan Gibran. Temuan ini membuat polemik semakin tajam karena menyentuh aspek legal dan administratif yang bisa berdampak langsung pada legitimasi jabatan seorang pejabat tinggi negara.
Empat Kejanggalan Fatal Versi Roy Suryo
Dalam wawancara di salah satu stasiun televisi nasional, Roy Suryo menjabarkan empat kejanggalan fatal yang ia temukan terkait riwayat pendidikan Gibran. Berikut uraian lengkapnya:
1. Misteri Keberadaan Ijazah SMA
Poin pertama yang dianggap paling mendasar adalah soal keberadaan ijazah SMA. Menurut Roy, tidak ada dokumen resmi yang menunjukkan bahwa Gibran benar-benar menyelesaikan pendidikan setingkat SMA. Ia menyoroti bahwa dalam dokumen pendaftaran di KPU, Gibran hanya mencantumkan pernah bersekolah di Orchid Park Secondary School, Singapura, selama dua tahun. Namun, bukti kelulusan berupa ijazah tidak ditemukan.
Ketiadaan dokumen ini menjadi krusial, karena syarat formal untuk menduduki jabatan publik di Indonesia adalah minimal tamat SMA atau sederajat. Jika syarat ini tidak bisa dibuktikan secara dokumen, maka secara hukum posisi Gibran bisa dipertanyakan.
2. Program di UTS Hanya Kursus Singkat
Roy juga menyoroti pendidikan Gibran di Australia. Gibran diketahui mengikuti program di University of Technology Sydney (UTS) melalui lembaga persiapan bernama Insearch. Menurut Roy, program ini hanya berlangsung selama enam bulan dan bukan program sarjana (S1). Artinya, status akademik Gibran ketika keluar dari UTS bukanlah lulusan strata satu, melainkan hanya mengikuti kursus persiapan.
Di sinilah letak persoalan kedua. Jika program itu hanya berupa kursus singkat, maka sulit untuk disetarakan dengan pendidikan formal SMA atau universitas. Hal ini memperkuat kecurigaan bahwa ada celah administratif yang dipaksakan untuk memenuhi persyaratan politik.
3. Penyetaraan Setara SMK yang Aneh
Poin ketiga yang diangkat Roy adalah mengenai penyetaraan ijazah. Program Insearch yang diikuti Gibran diklaim telah disetarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah di Indonesia agar diakui setara dengan SMK. Menurut Roy, keputusan penyetaraan ini janggal dan tidak masuk akal.
Dalam pandangannya, bagaimana mungkin sebuah program kursus singkat yang diselenggarakan di luar negeri bisa disetarakan dengan pendidikan formal setingkat SMK yang memiliki kurikulum jelas selama tiga tahun? Roy menyindir proses penyetaraan ini dengan istilah “dagelan Srimulat,” seolah menggambarkan bahwa keputusan tersebut lucu sekaligus memalukan.
4. Jeda Waktu Penyetaraan 13 Tahun
Kejanggalan keempat adalah jeda waktu yang panjang dalam proses penyetaraan. Roy menyebut Gibran menyelesaikan program Insearch pada tahun 2006, tetapi surat penyetaraan baru keluar pada 2019. Artinya, ada selisih waktu 13 tahun antara kelulusan dan pengakuan resmi penyetaraan di Indonesia.
Bagi Roy, jeda waktu ini bukan sekadar keterlambatan administratif, tetapi bisa menjadi indikasi adanya rekayasa atau upaya untuk melengkapi syarat setelah Gibran mulai serius menapaki jalur politik. Pertanyaan besar pun muncul: mengapa penyetaraan baru dilakukan belasan tahun setelah program selesai? Apakah ada upaya “mengisi kekosongan” agar persyaratan politik dapat terpenuhi?
Gugatan Hukum yang Mengiringi
Temuan Roy Suryo ini bukan sekadar opini di ruang publik, melainkan diperkuat oleh langkah hukum nyata. Gugatan yang diajukan Subhan Palal di PN Jakarta Pusat menuntut pembatalan status Gibran sebagai Wakil Presiden. Dalam gugatannya, Subhan menyebut Gibran tidak memenuhi syarat minimal pendidikan, sehingga keabsahan jabatannya cacat hukum.
Selain itu, tuntutan ganti rugi Rp125 triliun juga menjadi sorotan. Angka ini memang terlihat fantastis, tetapi mencerminkan betapa seriusnya gugatan yang diajukan. Jika pengadilan mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan tersebut, maka implikasinya tidak hanya menyangkut status Gibran, melainkan juga stabilitas politik nasional.
Sindiran “Dagelan Srimulat”
Ungkapan Roy Suryo yang menyebut kasus ini sebagai “dagelan Srimulat” bukanlah sekadar seloroh. Dalam budaya populer Indonesia, Srimulat identik dengan humor, ironi, dan kelucuan yang berlebihan. Dengan menggunakan istilah ini, Roy seolah ingin menegaskan bahwa kejanggalan dalam ijazah Gibran sudah kelewat lucu untuk dianggap wajar.
Sindiran ini menohok karena menggambarkan bahwa dalam urusan serius seperti keabsahan pejabat negara, yang muncul justru kelucuan administrasi yang tidak masuk akal. Jika benar demikian, maka publik berhak mempertanyakan integritas sistem pendidikan dan birokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi validitas dokumen.
Dampak Politik dan Hukum
Kontroversi ini berpotensi membawa dampak luas. Dari sisi hukum, jika pengadilan menemukan bukti bahwa syarat pendidikan Gibran tidak terpenuhi, maka status jabatannya bisa terancam. Tidak menutup kemungkinan akan ada langkah politik lanjutan, termasuk desakan untuk pembatalan atau bahkan pemakzulan.
Dari sisi politik, isu ini bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah. Sebagai Wakil Presiden, Gibran adalah simbol regenerasi politik dan kepemimpinan muda. Jika riwayat akademiknya bermasalah, maka kredibilitasnya bisa jatuh, sekaligus memberikan amunisi politik bagi pihak oposisi.
Penutup
Polemik ijazah Gibran menunjukkan bahwa di era keterbukaan informasi, dokumen pendidikan pejabat publik tidak bisa dianggap sepele. Empat kejanggalan yang diungkap Roy Suryo—mulai dari misteri ijazah SMA, program kursus singkat di UTS, penyetaraan setara SMK yang aneh, hingga jeda waktu 13 tahun—membangun narasi serius tentang kemungkinan cacat administratif yang bisa berdampak hukum.
Apakah tudingan ini benar atau sekadar manuver politik, tentu akan terjawab melalui proses hukum yang sedang berjalan. Namun, satu hal yang pasti: kasus ini telah menjadi perhatian publik luas dan menjadi ujian besar bagi transparansi, integritas, dan akuntabilitas pejabat negara.
