Sampah Menumpuk di Pasar Caringin, Dedi Mulyadi Ingatkan Pengelola: Ancaman Pidana Mengintai
Pasar Induk Caringin di Kota Bandung kembali menjadi sorotan publik. Tumpukan sampah yang menggunung di kawasan pasar tradisional terbesar di Jawa Barat itu viral di media sosial, menimbulkan reaksi keras dari masyarakat maupun pemerintah. Fenomena ini seolah menjadi masalah klasik yang berulang, padahal sebelumnya sudah ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasinya.
Kemarahan pun datang dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menilai pengelola pasar telah abai dan tidak bertanggung jawab. Ia menegaskan, pemerintah tidak akan lagi turun tangan membersihkan sampah di sana, karena seharusnya tanggung jawab penuh berada di pundak pengelola pasar. Bahkan, Dedi mengingatkan bahwa jika hal ini terus dibiarkan, ada konsekuensi hukum berupa ancaman pidana lingkungan.
Artikel ini akan membedah lebih dalam duduk perkara menumpuknya sampah di Pasar Caringin, sikap tegas Dedi Mulyadi, serta implikasi hukum yang mungkin muncul jika pengelola pasar tidak segera berbenah.
Masalah Sampah yang Tak Pernah Usai
Pasar Induk Caringin bukan hanya pusat distribusi bahan pokok untuk Bandung dan sekitarnya, tetapi juga menjadi salah satu simpul penting perdagangan di Jawa Barat. Aktivitas jual beli berlangsung sejak subuh hingga malam hari, melibatkan ribuan pedagang dan pembeli.
Namun, di balik peran vitalnya, pasar ini menyimpan masalah besar: pengelolaan sampah. Setiap hari, ribuan ton sampah organik maupun anorganik dihasilkan dari aktivitas perdagangan. Sisa sayuran, buah-buahan busuk, plastik kemasan, hingga kardus menumpuk di berbagai sudut.
Ketika tidak segera diangkut, sampah ini menimbulkan bau menyengat, mengganggu kesehatan, bahkan berpotensi menularkan penyakit. Tak heran, masyarakat sekitar sering mengeluhkan kondisi lingkungan yang kotor dan tidak nyaman.
Kondisi terbaru memperlihatkan bahwa tumpukan sampah kembali menggunung di beberapa titik Pasar Caringin. Pemandangan ini menuai kritik keras dari warga yang menganggap pengelola pasar tidak serius dalam mengurus kebersihan.
Dedi Mulyadi: Pemerintah Tak Lagi Turun Tangan
Dedi Mulyadi, yang dikenal tegas dalam urusan lingkungan, tidak bisa menutup mata atas persoalan ini. Ia menegaskan bahwa pemerintah sudah lebih dari sekali turun tangan memberi arahan, bahkan terlibat langsung dalam aksi bersih-bersih di Pasar Caringin.
Namun, langkah itu tidak membuahkan hasil jangka panjang. Begitu pemerintah mundur, masalah sampah kembali muncul. Karena itu, Dedi menyatakan sikap tegas: pemerintah tidak akan lagi mengurusi sampah di Pasar Caringin.
Menurutnya, pasar tersebut dikelola oleh pihak swasta, sehingga semua urusan kebersihan harus ditanggung oleh pengelola. Mereka sudah memperoleh keuntungan dari aktivitas pasar, maka sudah semestinya mengalokasikan dana dan sistem yang memadai untuk penanganan sampah.
“Pengelola pasar itu punya kewajiban penuh. Kalau sampah tidak diurus, itu jelas kelalaian. Jangan sampai pemerintah selalu dijadikan solusi instan, padahal tugas utama ada di mereka,” tegas Dedi dalam keterangannya.
Ancaman Pidana Lingkungan
Yang menarik, Dedi tidak hanya berhenti pada teguran. Ia juga mengingatkan bahwa pengelola pasar bisa terjerat pidana lingkungan jika terus membiarkan sampah menumpuk.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa setiap pihak yang lalai dalam pengelolaan limbah dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.
Jika sampah di Pasar Caringin menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, maka pengelola berpotensi dijerat pasal pidana dengan ancaman hukuman penjara dan denda. Ancaman ini menjadi peringatan serius agar pengelola tidak menganggap remeh permasalahan sampah.
Bagi Dedi, penegakan hukum menjadi jalan terakhir jika pengelola tetap bersikap abai. Dengan kata lain, pengelola tidak bisa lagi sekadar berdalih atau mengulur waktu, karena masalah kebersihan pasar menyangkut kepentingan ribuan orang.
Pengelolaan yang Gagal: Mengapa Berulang?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa masalah ini terus berulang? Padahal, pasar sekelas Caringin seharusnya memiliki sistem pengelolaan sampah yang terstruktur.
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab:
-
Manajemen pengelola pasar yang lemah.
Pengelola diduga tidak memiliki sistem pengangkutan dan pembuangan sampah yang terjadwal dengan baik. -
Kurangnya alokasi anggaran.
Meski pasar menghasilkan pendapatan besar, bisa jadi pengelolaan sampah tidak menjadi prioritas dalam penggunaan dana operasional. -
Kesadaran pedagang yang rendah.
Pedagang kerap membuang sampah sembarangan tanpa memilah, sehingga tumpukan sulit ditangani dalam waktu singkat. -
Minimnya pengawasan.
Selama ini, tidak ada mekanisme kontrol yang konsisten untuk memastikan kebersihan pasar.
Kombinasi faktor-faktor tersebut membuat persoalan sampah seperti lingkaran setan yang sulit dipecahkan.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Kondisi sampah yang menumpuk jelas membawa dampak luas. Bagi pedagang, suasana pasar yang kumuh dan bau bisa menurunkan minat pembeli. Lingkungan sekitar pasar juga terdampak, dengan meningkatnya risiko penyakit menular akibat lalat dan tikus.
Lebih jauh, pencemaran ini dapat mengurangi kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung. Sungai atau saluran air di sekitar pasar bisa tercemar limbah organik, menimbulkan masalah baru berupa banjir maupun kerusakan ekosistem.
Bagi masyarakat, persoalan ini menimbulkan rasa frustasi. Mereka merasa dirugikan oleh kelalaian pengelola yang semestinya bertanggung jawab. Tidak heran jika kemudian muncul desakan agar pemerintah benar-benar menindak tegas pihak yang abai.
Jalan Keluar: Apa yang Harus Dilakukan?
Masalah sampah di Pasar Caringin jelas tidak bisa lagi diselesaikan dengan pendekatan sementara. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan:
-
Pengelola harus menyusun sistem pengangkutan sampah harian.
Setiap sampah harus diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) secara rutin, bukan menunggu hingga menumpuk. -
Edukasi pedagang untuk memilah sampah.
Sampah organik dapat dikelola menjadi kompos, sementara sampah anorganik bisa dijual kembali atau didaur ulang. -
Penerapan sanksi internal.
Pengelola dapat membuat aturan tegas dengan denda bagi pedagang yang membuang sampah sembarangan. -
Kerjasama dengan pihak ketiga.
Jika pengelola kesulitan, mereka bisa bekerja sama dengan perusahaan pengelola sampah profesional. -
Pengawasan ketat pemerintah.
Meski tidak turun tangan langsung, pemerintah harus tetap mengawasi dan menegakkan aturan agar pengelola benar-benar bertanggung jawab.
Dengan kombinasi langkah-langkah ini, masalah sampah bisa diminimalisir. Namun, kuncinya tetap ada pada komitmen pengelola pasar.
Penutup
Kasus sampah di Pasar Caringin Bandung menjadi cermin betapa seriusnya persoalan pengelolaan lingkungan di kawasan perdagangan. Meski sudah berkali-kali diperingatkan, pengelola pasar masih lalai hingga memicu kekecewaan masyarakat dan kemarahan pemerintah.
Sikap tegas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menolak kembali turun tangan sekaligus mengingatkan soal ancaman pidana, menjadi titik balik yang penting. Pesannya jelas: pengelola pasar harus bertanggung jawab penuh, atau siap berhadapan dengan hukum.
Kini, semua mata tertuju pada pengelola Pasar Caringin. Apakah mereka akan berbenah dan membuktikan komitmen mengelola sampah, atau justru membiarkan masalah ini berulang hingga menimbulkan konsekuensi hukum?
Satu hal pasti, publik tidak lagi bisa bersabar menghadapi pasar yang kotor dan bau. Sampah bukan hanya soal estetika, melainkan juga kesehatan, hukum, dan masa depan lingkungan.
