Dedi Mulyadi Ungkap Idealnya Anggaran Tanggap Darurat Bencana Jabar Capai Rp200 Miliar

 Dedi Mulyadi Ungkap Idealnya Anggaran Tanggap Darurat Bencana Jabar Capai Rp200 Miliar


Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghadapi tantangan serius dalam kesiapsiagaan dan penanganan bencana alam. Dari banjir bandang, longsor, hingga kekeringan ekstrem yang kerap melanda sejumlah wilayah, kebutuhan akan anggaran yang memadai menjadi perhatian utama. Dalam konteks itu, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa idealnya dana tanggap darurat bencana untuk wilayah Jawa Barat mencapai Rp200 miliar per tahun. Angka ini disebutnya bukan sekadar nominal, melainkan bentuk komitmen terhadap keselamatan dan kesejahteraan warga.



 Kebutuhan Anggaran yang Realistis, Bukan Sekadar Angka di Atas Kertas


Menurut Dedi, anggaran tanggap darurat bencana tidak boleh hanya ada secara administratif atau formalitas di dalam laporan keuangan pemerintah daerah. “Anggaran itu harus digunakan secara aktif, bukan hanya disiapkan lalu dibiarkan mengendap di kas daerah,” ujarnya. Ia menyoroti fenomena di mana dana darurat sering kali “diparkir” alias tidak digunakan karena alasan birokrasi atau ketidaksiapan teknis, padahal bencana bisa datang kapan saja.


Dedi menegaskan bahwa Rp200 miliar adalah angka yang “ideal” untuk provinsi sebesar Jawa Barat, dengan 27 kabupaten/kota yang memiliki karakteristik geografis dan kerentanan bencana berbeda-beda. Menurutnya, setiap kabupaten/kota juga perlu menyiapkan dana serupa, menyesuaikan dengan kemampuan fiskal masing-masing. Dengan begitu, ketika bencana terjadi, pemerintah daerah tidak perlu menunggu transfer dana dari pusat atau provinsi yang sering kali memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu.


“Jika semua daerah punya dana siap pakai, respons bisa lebih cepat, korban bisa segera ditangani, dan kerugian bisa diminimalkan,” jelas Dedi dalam pernyataannya.


 Tanggung Jawab Kolektif Pemerintah Daerah


Pernyataan Dedi Mulyadi bukan hanya soal nominal anggaran, tetapi juga soal paradigma baru dalam manajemen kebencanaan. Ia menginginkan agar semua kepala daerah di Jawa Barat memahami bahwa tanggap bencana adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya urusan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Setiap dinas dan lembaga daerah, menurutnya, memiliki peran dalam mitigasi dan penanganan pascabencana.


Dalam praktiknya, koordinasi antarinstansi sering kali menjadi kendala utama. Saat bencana terjadi, satuan tugas dari BPBD, dinas sosial, hingga aparat keamanan harus bisa bekerja dalam satu komando yang jelas. Namun kenyataannya, birokrasi dan perbedaan prioritas sering memperlambat tindakan di lapangan. Karena itu, Dedi menekankan pentingnya sinkronisasi program lintas sektor, agar dana dan sumber daya yang ada benar-benar digunakan secara efektif.


 Evaluasi Kegiatan Tambang: Mengaitkan Mitigasi dan Kebijakan Ekonomi


Selain menyoroti pentingnya kesiapan anggaran, Dedi juga menyinggung faktor penyebab bencana yang sering diabaikan: aktivitas pertambangan. Ia menilai bahwa sebagian wilayah di Jawa Barat, terutama di daerah pegunungan dan lereng, menghadapi risiko tinggi akibat eksploitasi tambang yang tidak terkendali.


“Tambang itu harus dikaji ulang. Kalau ada kegiatan ekonomi yang berpotensi menimbulkan bencana, maka pemerintah wajib hadir untuk menyeimbangkan,” katanya. Menurutnya, keberadaan tambang yang tidak memperhatikan aspek lingkungan bisa memperbesar risiko longsor dan kerusakan ekosistem.


Dedi mendorong agar Pemprov Jabar melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin pertambangan, terutama di kawasan rawan bencana. Langkah ini bukan untuk menghambat investasi, tetapi untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan beriringan dengan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan warga.


 Teknologi dan Kesiapsiagaan: Radar Cuaca untuk Jawa Barat


Dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan, Pemprov Jawa Barat berencana melakukan pengadaan radar cuaca pada 2026. Radar ini diharapkan mampu memantau dinamika atmosfer secara lebih akurat dan memberikan peringatan dini terhadap potensi bencana hidrometeorologi seperti hujan ekstrem atau angin kencang.


Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai mengarah pada pendekatan berbasis teknologi. Dengan data cuaca yang lebih presisi, BPBD dan lembaga terkait dapat mengambil keputusan lebih cepat, misalnya dengan mengeluarkan peringatan dini kepada masyarakat di wilayah berisiko tinggi.


Pemasangan radar ini juga akan didukung dengan penguatan sistem komunikasi bencana, pelatihan tim reaksi cepat, dan modernisasi peralatan evakuasi. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan insting atau laporan manual. Teknologi harus menjadi bagian dari sistem kebencanaan,” tegas Dedi.


 Personel Gabungan: Menghadirkan Sinergi di Lapangan


Sebagai bagian dari strategi tanggap darurat, Dedi juga mengumumkan keterlibatan sekitar 2.500 personel gabungan dari unsur kepolisian, TNI, BPBD, dan relawan masyarakat untuk menangani potensi bencana di Jawa Barat. Jumlah ini dipandang cukup signifikan untuk memperkuat respons awal saat terjadi bencana.


Keberadaan personel gabungan ini bukan hanya soal kekuatan fisik di lapangan, tetapi juga simbol sinergi antara berbagai elemen negara dan masyarakat. Dalam situasi darurat, kecepatan dan koordinasi menjadi kunci utama untuk menyelamatkan nyawa dan meminimalkan kerugian. Karena itu, pelatihan rutin dan pembagian wilayah tanggung jawab akan dilakukan secara terstruktur agar semua personel siap bertindak kapan pun dibutuhkan.


 Mengubah Cara Pandang terhadap Dana Bencana


Pernyataan Dedi Mulyadi tentang “jangan parkir anggaran” menjadi sorotan penting. Selama ini, banyak daerah di Indonesia yang menyiapkan dana darurat, tetapi penggunaannya kerap tersendat karena berbagai alasan administratif. Akibatnya, ketika bencana datang, penanganan menjadi lambat dan korban menanggung dampaknya.


Dedi ingin mengubah paradigma tersebut. Menurutnya, dana tanggap darurat harus bersifat fleksibel namun akuntabel — artinya dapat digunakan dengan cepat, tetapi tetap transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia juga mendorong agar pemerintah daerah memperkuat mekanisme audit internal agar tidak ada penyalahgunaan anggaran dengan alasan “darurat”.


“Uang ini untuk menyelamatkan manusia. Kalau uangnya ada tapi tidak digunakan tepat waktu, itu sama saja kita membiarkan korban bertambah,” ujarnya tegas.


 Bencana Sebagai Realitas, Bukan Kemungkinan


Secara geografis, Jawa Barat memang termasuk wilayah dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, provinsi ini kerap mengalami lebih dari 500 kejadian bencana setiap tahun, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi, hingga kekeringan. Karena itu, kesiapan bukan lagi pilihan, tetapi keharusan.


Dengan luas wilayah yang besar dan populasi yang padat, bencana di Jawa Barat hampir selalu berdampak besar terhadap ekonomi, infrastruktur, dan kehidupan sosial masyarakat. Setiap kali terjadi bencana besar, biaya pemulihan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan jika dana tanggap darurat digunakan secara preventif sejak awal.


 Menuju Sistem Ketahanan Bencana yang Lebih Terpadu


Usulan Rp200 miliar dari Dedi Mulyadi sejatinya bukan sekadar angka, melainkan simbol visi besar: membangun sistem ketahanan bencana yang terpadu. Ia ingin agar Jawa Barat tidak hanya bereaksi ketika bencana datang, tetapi memiliki sistem yang mampu memprediksi, mencegah, dan merespons dengan cepat.


Langkah-langkah seperti penyediaan radar, pelibatan personel gabungan, dan evaluasi tambang hanyalah bagian dari kerangka besar menuju ketahanan daerah. Namun, semuanya akan sia-sia tanpa dukungan kebijakan anggaran yang kuat dan pelaksanaan yang disiplin di lapangan.


 Penutup: Bencana Tidak Bisa Dicegah, Tetapi Dampaknya Bisa Dikelola


Dedi Mulyadi menutup pesannya dengan refleksi sederhana: “Bencana tidak bisa kita cegah, tapi dampaknya bisa kita kelola.” Kalimat ini menggambarkan esensi dari semua kebijakan yang ia dorong. Dengan kesiapan anggaran, koordinasi lintas sektor, serta dukungan teknologi dan personel yang memadai, Jawa Barat diharapkan bisa menjadi contoh provinsi yang tangguh menghadapi ancaman bencana.


Pada akhirnya, kesiapsiagaan bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga kesadaran masyarakat. Dana Rp200 miliar hanyalah salah satu elemen dari sistem besar yang melibatkan semua pihak. Namun tanpa dana yang memadai dan keberanian untuk menggunakannya secara tepat, sistem itu tidak akan berjalan.


Dengan komitmen tersebut, Dedi berharap Jawa Barat bisa membuktikan bahwa menghadapi bencana bukan berarti pasrah terhadap alam, melainkan menunjukkan kemampuan manusia untuk beradaptasi, berinovasi, dan saling menjaga.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama