Dedi Mulyadi Gulirkan Kompensasi Rp9 Juta per Keluarga Terdampak Tambang: Wujud Nyata Keadilan Ekonomi di Jawa Barat
Pemerintah Provinsi Jawa Barat kini menorehkan langkah penting dalam upaya menegakkan keadilan ekonomi bagi masyarakat yang selama ini terdampak aktivitas pertambangan. Di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, kebijakan kompensasi sebesar Rp9 juta per kepala keluarga menjadi sinyal kuat bahwa pembangunan ekonomi di sektor tambang tak lagi boleh berjalan tanpa memperhitungkan nasib warga di sekitarnya. Program ini tidak hanya soal angka rupiah, tetapi juga tentang perubahan paradigma: dari eksploitasi sumber daya menjadi pemerataan kesejahteraan.
Menata Ulang Arah Pertambangan di Jawa Barat
Sektor tambang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang signifikan di Jawa Barat. Namun di balik potensi besar itu, terdapat sisi gelap yang sering luput dari perhatian—kerusakan lingkungan, kemacetan akibat truk pengangkut, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Dedi Mulyadi menilai, jika tidak diatur secara adil dan transparan, pertambangan hanya akan menjadi ladang keuntungan bagi segelintir pihak tanpa memberi manfaat sosial yang nyata.
Oleh karena itu, pemerintah provinsi menggulirkan kebijakan kompensasi langsung kepada masyarakat terdampak. Dalam tahap pertama, setiap kepala keluarga menerima Rp3 juta, dengan rencana pencairan total hingga Rp9 juta per keluarga sampai tahun 2026. Skema ini menandai awal dari upaya panjang menata ulang sistem pertambangan agar lebih berpihak kepada rakyat kecil yang selama ini paling banyak menanggung dampaknya.
Data dan Mekanisme yang Terverifikasi
Pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara bertahap dan terukur. Di Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, misalnya, dari total 1.001 keluarga yang terdaftar, hasil verifikasi menunjukkan 928 kepala keluarga memenuhi syarat untuk menerima kompensasi. Proses ini tidak dilakukan secara serampangan, melainkan melalui pendataan yang diawasi langsung oleh pemerintah daerah dan lembaga perbankan daerah seperti Bank BJB.
Penyaluran dana pun dilakukan secara non-tunai, untuk memastikan transparansi dan menghindari potensi penyalahgunaan. Hingga kini, sekitar 2.010 warga di Kecamatan Cigudeg dan Parung Panjang tengah membuka rekening baru untuk tahap selanjutnya. Total penerima manfaat dari program ini diperkirakan mencapai 9.628 orang, dengan nilai anggaran tahap pertama mencapai Rp6 miliar. Dalam waktu dekat, penyaluran lanjutan akan terus berjalan hingga seluruh warga terdampak mendapatkan haknya secara penuh.
Keadilan Sosial di Tengah Sektor Eksploitatif
Dalam banyak kasus, industri tambang seringkali menghadirkan paradoks: wilayah kaya sumber daya justru dihuni oleh masyarakat miskin. Dedi Mulyadi menyoroti realitas di lapangan—pekerja tambang dibayar rendah, bahkan hanya Rp50.000 hingga Rp80.000 per hari. Satpam di area tambang pun kerap digaji tak lebih dari Rp1,6 juta per bulan. Angka ini tentu jauh dari layak jika dibandingkan dengan risiko dan beban kerja mereka.
Melalui kebijakan kompensasi, Dedi ingin menegaskan prinsip keadilan ekonomi. Masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang tidak boleh sekadar menjadi penonton. Mereka harus menjadi bagian dari manfaat yang dihasilkan oleh sektor tersebut. Kesejahteraan warga, menurutnya, adalah tolok ukur sejati dari keberhasilan pembangunan, bukan sekadar peningkatan pendapatan daerah.
Selain bantuan tunai, Pemprov Jawa Barat juga merancang langkah struktural untuk memperbaiki tata kelola industri ini. Di antaranya, pengaturan ulang jalur kendaraan pengangkut tambang agar tidak merusak infrastruktur publik, pemberian asuransi bagi pekerja informal seperti kuli muat dan sopir truk, serta kemudahan akses kredit tanpa uang muka bagi para sopir agar bisa memiliki kendaraan sendiri. Langkah-langkah ini menjadi bentuk nyata dari kebijakan yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat, bukan hanya keuntungan korporasi.
Reformasi Pajak Tambang dan Transparansi Digital
Upaya menciptakan keadilan ekonomi juga mencakup reformasi sistem perpajakan tambang. Selama ini, penerimaan pajak dari sektor tersebut di Jawa Barat terbilang rendah jika dibandingkan dengan potensi aslinya. Dedi Mulyadi mengungkapkan bahwa pendapatan dari pajak tambang baru mencapai sekitar Rp100 miliar untuk kabupaten dan Rp20 miliar untuk provinsi. Namun melalui sistem digitalisasi dan audit yang lebih ketat, angka ini diyakini bisa meningkat hingga lima kali lipat.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah provinsi menggandeng tim akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) guna menyusun model tata kelola pertambangan yang lebih transparan. Digitalisasi bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, tetapi juga mendorong akuntabilitas di seluruh rantai produksi—mulai dari izin tambang, pengawasan produksi, hingga distribusi hasilnya. Dengan sistem yang lebih terbuka, kebocoran pendapatan dapat diminimalkan dan hasilnya dapat dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk program kesejahteraan.
Model Baru Keadilan Ekonomi Daerah
Langkah yang ditempuh Pemprov Jawa Barat sejatinya menandai lahirnya model baru dalam tata kelola industri ekstraktif di daerah. Pendekatan berbasis keadilan sosial menjadi fondasi utama, di mana kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas, bukan efek samping. Kebijakan kompensasi Rp9 juta per kepala keluarga tidak hanya menjadi wujud perhatian terhadap dampak sosial pertambangan, tetapi juga simbol hadirnya negara di tengah rakyat yang terdampak pembangunan.
Dalam konteks ini, program Dedi Mulyadi dapat dilihat sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat kecil tanpa menghambat laju investasi. Pemerintah tetap membuka ruang bagi industri tambang untuk berkembang, tetapi dengan koridor yang lebih adil dan transparan. Keuntungan ekonomi dari sumber daya alam harus dibagi secara proporsional—perusahaan memperoleh profit, pemerintah mendapatkan pendapatan daerah, dan masyarakat menikmati manfaat langsung.
Tantangan Implementasi dan Harapan Ke Depan
Meski arah kebijakannya jelas dan berpihak, implementasi di lapangan tentu bukan perkara mudah. Proses verifikasi data penerima kompensasi, misalnya, harus benar-benar akurat agar bantuan tepat sasaran. Kesalahan kecil dalam pendataan bisa menimbulkan kecemburuan sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap program ini. Selain itu, penyaluran dana yang direncanakan berlangsung hingga 2026 juga memerlukan konsistensi kebijakan lintas tahun anggaran.
Di sisi lain, keberhasilan program ini sangat bergantung pada kerja sama semua pihak—pemerintah daerah, perusahaan tambang, lembaga keuangan, hingga masyarakat sendiri. Jika hanya satu pihak yang aktif, maka cita-cita pemerataan manfaat akan sulit tercapai. Digitalisasi pajak dan sistem audit tambang juga menuntut integritas dan kesiapan sumber daya manusia di birokrasi agar sistem baru benar-benar berjalan efektif.
Namun, jika semua tantangan itu dapat diatasi, Jawa Barat berpeluang besar menjadi contoh nasional dalam penataan industri pertambangan yang berkeadilan. Pendekatan yang menggabungkan kompensasi sosial, reformasi pajak, dan digitalisasi tata kelola merupakan kombinasi ideal untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan sosial.
Refleksi: Dari Eksploitasi Menuju Partisipasi
Kebijakan Dedi Mulyadi mengandung makna lebih dalam dari sekadar bantuan finansial. Ia merefleksikan pergeseran cara pandang terhadap pembangunan di sektor sumber daya alam—bahwa kekayaan alam bukan hanya untuk digali, tetapi untuk dibagi secara adil. Selama puluhan tahun, banyak wilayah di Indonesia yang kaya akan tambang justru menjadi daerah tertinggal karena hasilnya tidak pernah dirasakan masyarakat lokal. Kini, dengan pendekatan berbasis kompensasi langsung dan sistem yang transparan, paradigma itu mulai bergeser.
Program ini mengajarkan bahwa pembangunan sejati bukan tentang siapa yang mendapat untung paling besar, tetapi siapa yang paling terlindungi. Dengan Rp9 juta per keluarga, mungkin dampak ekonominya belum mampu mengubah kehidupan secara drastis, tetapi secara simbolik, kebijakan ini menjadi pengakuan negara terhadap hak-hak warga terdampak tambang. Itu adalah langkah pertama menuju keadilan ekonomi yang sesungguhnya.
Penutup
Kompensasi bagi warga terdampak tambang yang digagas oleh Dedi Mulyadi adalah bukti nyata bahwa pemerintah daerah dapat berperan aktif dalam menata ulang arah pembangunan ekonomi. Jawa Barat kini berdiri di garis depan reformasi pertambangan dengan pendekatan humanistik, transparan, dan berkeadilan.
Apabila program ini dapat dijalankan dengan konsisten, maka ke depan tidak mustahil Jawa Barat akan menjadi model nasional dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di sektor sumber daya alam. Karena pada akhirnya, tambang bukan hanya soal batu dan logam yang digali dari perut bumi, tetapi tentang kehidupan manusia yang bergantung pada tanah yang sama.
