Gaji Tambang Cuma Rp80 Ribu Sehari, Dedi Mulyadi Gulirkan Kompensasi Rp9 Juta: Wujud Nyata Keberpihakan pada Pekerja Tambang di Jawa Barat
Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi kini menegaskan arah baru dalam kebijakan pertambangan. Di tengah situasi ekonomi yang timpang, di mana para pekerja tambang di Kabupaten Bogor hanya menerima upah sekitar Rp50.000 hingga Rp80.000 per hari, pemerintah hadir memberikan solusi yang konkret. Melalui program kompensasi sebesar Rp9 juta per orang, Dedi ingin memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat yang selama ini berada di lingkaran industri tambang mendapatkan perhatian serius.
Kebijakan ini bukan sekadar langkah politis, tetapi manifestasi dari semangat keadilan sosial dan ekonomi yang selama ini diperjuangkan oleh Jawa Barat. Di balik angka Rp9 juta tersebut, tersimpan pesan penting: bahwa kekayaan alam tidak boleh hanya dinikmati oleh pemilik modal, melainkan harus memberikan manfaat nyata bagi rakyat kecil yang bekerja keras menopang industri tersebut.
Kondisi Buruh Tambang: Upah Rendah, Risiko Tinggi
Selama bertahun-tahun, sektor tambang di Kabupaten Bogor menjadi penopang ekonomi daerah. Namun di balik geliat tersebut, tersimpan kenyataan pahit: sebagian besar pekerja tambang hidup dalam kondisi upah rendah dan tanpa perlindungan sosial yang memadai.
Data lapangan menunjukkan, banyak buruh tambang hanya dibayar Rp50.000 hingga Rp80.000 per hari, dengan jam kerja panjang dan lingkungan kerja yang berisiko tinggi. Para sopir truk pengangkut material, kuli muat, dan penjaga area tambang bekerja di bawah tekanan berat, tanpa jaminan kesehatan, tanpa asuransi, dan tanpa kepastian masa depan.
Situasi ini, bagi Dedi Mulyadi, adalah cermin dari ketimpangan ekonomi yang tak bisa lagi diabaikan. Dalam pandangannya, jika industri tambang terus berjalan tanpa regulasi sosial yang adil, maka kekayaan alam Jawa Barat hanya akan memperkaya segelintir orang, sementara masyarakat lokal tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
“Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin,” ujar Dedi dalam berbagai kesempatan. Kalimat itu kini menjadi dasar pemikiran di balik program kompensasi yang digulirkannya.
Kompensasi Rp9 Juta: Bentuk Nyata Kepedulian
Sebagai langkah awal, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan kompensasi senilai Rp9 juta kepada para pekerja tambang yang terdampak kebijakan penataan sektor tambang di Kabupaten Bogor. Dana ini dibayarkan dalam tiga tahap, masing-masing Rp3 juta per bulan untuk periode November 2025, Desember 2025, dan Januari 2026.
Skema pencairan bertahap ini dibuat agar manfaat bantuan dapat lebih terukur dan langsung dirasakan oleh masyarakat. Penyaluran dilakukan secara non-tunai melalui rekening penerima untuk menjaga transparansi dan mencegah penyalahgunaan dana.
Program ini menyasar para pekerja tambang dan warga yang terdampak langsung akibat pembatasan atau penutupan tambang. Selain membantu secara ekonomi, kebijakan ini juga dimaksudkan sebagai masa transisi bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan arah kebijakan tambang yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.
Langkah tersebut sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap penderitaan pekerja tambang. Dedi Mulyadi ingin memastikan bahwa penataan sektor tambang tidak berarti meninggalkan rakyatnya, melainkan melibatkan mereka dalam proses perubahan menuju sistem ekonomi yang lebih manusiawi.
Kolaborasi dengan Akademisi: Menata Tambang dengan Ilmu
Kebijakan ini tidak berdiri sendiri. Pemprov Jawa Barat menggandeng kalangan akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melakukan audit investigatif terhadap kondisi pertambangan di wilayah Bogor dan sekitarnya.
Kolaborasi ini bertujuan agar kebijakan yang diambil berbasis data dan analisis yang komprehensif, bukan sekadar keputusan administratif. Tim ahli dari dua kampus terkemuka itu membantu pemerintah menghitung dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari aktivitas tambang, sekaligus memberikan rekomendasi kebijakan berbasis keadilan sosial.
Selain itu, hasil kajian tersebut akan digunakan untuk memperbaiki sistem perpajakan tambang yang selama ini dianggap tidak maksimal. Berdasarkan data sementara, penerimaan pajak dari sektor tambang di Bogor mencapai sekitar Rp100 miliar untuk kabupaten dan Rp25 miliar untuk provinsi per tahun. Namun menurut perhitungan awal, angka ini bisa meningkat hingga lima kali lipat jika sistem pendataan dilakukan secara digital dan transparan.
Dedi menilai bahwa digitalisasi adalah kunci untuk menghentikan kebocoran pajak dan memastikan seluruh hasil tambang tercatat dengan benar. Dengan begitu, pendapatan yang diperoleh pemerintah dapat dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk program kesejahteraan, infrastruktur, dan perlindungan sosial.
Dari Kompensasi Menuju Transformasi Sosial
Kompensasi Rp9 juta per orang bukan hanya bentuk bantuan sementara. Ia menjadi bagian dari peta jalan menuju transformasi sosial di sektor pertambangan Jawa Barat. Dedi Mulyadi percaya bahwa kesejahteraan masyarakat tidak cukup hanya dengan uang tunai, tetapi harus dibarengi dengan sistem yang berkelanjutan dan partisipatif.
Pemerintah provinsi tengah merancang langkah-langkah tambahan seperti pembangunan jalan khusus angkutan tambang agar tidak merusak infrastruktur publik, penyediaan asuransi bagi pekerja informal, serta pemberian akses kredit tanpa uang muka bagi sopir truk tambang agar mereka bisa memiliki kendaraan sendiri.
Dengan langkah-langkah tersebut, Dedi berharap kesejahteraan masyarakat tidak lagi bergantung sepenuhnya pada industri tambang yang rawan fluktuasi. Melainkan beralih pada sistem ekonomi yang lebih kuat, berdaya, dan mandiri.
Menegakkan Keadilan Ekonomi di Tanah Tambang
Keadilan ekonomi menjadi inti dari seluruh kebijakan Dedi Mulyadi. Ia memandang bahwa sektor tambang tidak boleh hanya menjadi mesin pendulang keuntungan bagi pengusaha, tetapi juga instrumen pemerataan pendapatan bagi rakyat kecil.
Selama ini, banyak daerah penghasil tambang justru menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi karena keuntungan besar dari eksploitasi sumber daya alam tidak pernah mengalir ke masyarakat setempat. Melalui kompensasi dan reformasi sistem tambang, Dedi berupaya mengubah paradigma tersebut.
Ia menginginkan agar tambang di Jawa Barat dikelola dengan prinsip keseimbangan: antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dengan digitalisasi sistem dan keterlibatan akademisi, kebijakan ini diarahkan untuk menciptakan transparansi serta menekan praktik ilegal yang selama ini merugikan daerah.
Lebih jauh, Dedi juga menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan industri tambang. Ia mengajak warga untuk aktif melaporkan pelanggaran, menjaga lingkungan, dan ikut serta dalam menentukan arah kebijakan pembangunan di daerahnya.
Tantangan dan Harapan
Tentu, kebijakan progresif ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu yang paling mendasar adalah proses verifikasi penerima kompensasi agar bantuan tepat sasaran. Kesalahan dalam pendataan dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan mengganggu kepercayaan publik.
Selain itu, digitalisasi pajak dan sistem audit tambang memerlukan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia di tingkat daerah. Reformasi yang menyentuh aspek teknis ini membutuhkan waktu dan komitmen jangka panjang agar hasilnya dapat dirasakan secara nyata.
Namun di balik semua tantangan itu, kebijakan Dedi Mulyadi membuka babak baru bagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus selalu menindas yang lemah, dan bahwa kesejahteraan rakyat bisa menjadi prioritas utama tanpa mengorbankan produktivitas ekonomi.
Penutup: Langkah Kecil Menuju Perubahan Besar
Program kompensasi Rp9 juta bagi pekerja tambang di Jawa Barat mungkin terlihat sebagai kebijakan sederhana, namun maknanya jauh lebih besar. Ini adalah simbol kehadiran negara di tengah rakyat yang terpinggirkan.
Di saat banyak daerah menghadapi dilema antara investasi dan keadilan sosial, Jawa Barat justru memilih jalan tengah: menata ulang industri tambang tanpa meninggalkan rakyatnya. Dedi Mulyadi berhasil menunjukkan bahwa keberpihakan pada masyarakat kecil tidak harus bertentangan dengan pembangunan ekonomi.
Apabila program ini dijalankan secara konsisten dan transparan, Jawa Barat bisa menjadi contoh nasional dalam mewujudkan pertambangan berkeadilan — di mana kekayaan alam bukan hanya menjadi sumber keuntungan, tetapi juga sumber kehidupan yang bermartabat bagi seluruh warganya.
