Diperiksa Kasus Ijazah Palsu Jokowi, Roy Suryo Ajukan Syarat ke Penyidik Polda Metro
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo kembali menyeret perhatian publik setelah sejumlah tokoh dipanggil penyidik Polda Metro Jaya. Salah satu yang paling menyedot sorotan adalah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo, yang hadir untuk menjalani pemeriksaan pada Rabu, 20 Agustus 2025. Kehadiran Roy tidak sendirian. Ia didampingi oleh akademisi Rizal Fadilah dan aktivis Kurnia Tri Royani, yang juga turut memenuhi panggilan penyidik.
Pemeriksaan ini menjadi penting, sebab kasus ijazah palsu Jokowi telah lama menjadi perbincangan di ruang publik, menimbulkan perdebatan sengit di media sosial, serta melahirkan berbagai klaim dari beragam pihak. Namun, yang menarik bukan hanya status pemeriksaan Roy sebagai saksi, melainkan juga syarat khusus yang ia ajukan kepada penyidik terkait teknis pelaksanaan pemeriksaan.
Hadir Setelah Penundaan
Roy Suryo beserta dua tokoh lainnya sebelumnya sempat menunda kehadiran mereka. Bukan karena menolak panggilan, melainkan karena telah memiliki agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka terlibat dalam peluncuran sebuah buku pada momen Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Barulah pada 20 Agustus, mereka dapat hadir memenuhi kewajiban hukum untuk memberikan keterangan.
Langkah ini menunjukkan bahwa para tokoh tersebut tetap menghormati proses hukum, meskipun di sisi lain mereka juga menegaskan adanya hak untuk mengatur kesesuaian jadwal. Dengan demikian, tidak bisa serta-merta dikatakan mereka menghindari pemeriksaan.
Status Sebagai Saksi, Bukan Ahli
Dalam keterangannya kepada awak media, Roy Suryo dengan tegas menegaskan bahwa ia hadir semata-mata sebagai saksi, bukan dalam kapasitas lain. Ia menolak apabila statusnya disamakan dengan ahli, sebab dalam logika hukum, peran keduanya berbeda.
Saksi hanya menyampaikan fakta atau informasi sesuai panggilan penyidik, tanpa memberikan opini atau penilaian. Sementara itu, ahli memang diminta untuk memberikan pandangan atau interpretasi. Roy bahkan mengingatkan bahwa saksi tidak boleh berpendapat, karena hal itu bisa mengaburkan batasan peran.
Kritik Terhadap Pola Pemeriksaan Sebelumnya
Meski datang dengan kesediaan penuh, Roy tidak segan melontarkan kritik atas pola pemeriksaan yang dilakukan penyidik terhadap saksi sebelumnya. Ia menilai durasi pemeriksaan terlalu panjang, bahkan bisa berlangsung dari pagi hingga malam, atau dalam beberapa kasus berlanjut sampai dini hari.
Menurut Roy, pola ini berlebihan dan tidak manusiawi, sebab saksi bukanlah tersangka yang harus menjalani interogasi ketat. Mereka dipanggil untuk memberikan keterangan, bukan untuk dihabisi tenaganya dalam ruangan tertutup selama belasan jam. Kritik ini memperlihatkan keprihatinan atas aspek prosedural yang dinilai kurang menghargai hak-hak saksi.
Ajukan Syarat Batas Waktu
Sebagai tindak lanjut atas kritik tersebut, Roy bersama timnya mengajukan syarat khusus kepada penyidik. Mereka meminta agar pemeriksaan pada hari itu hanya berlangsung hingga waktu adzan maghrib. Jika pemeriksaan belum selesai, maka sisanya bisa dilanjutkan dengan penjadwalan ulang di hari lain.
Pernyataan Roy cukup tegas: “Kalau magrib enggak selesai, selesai enggak selesai, kita pamit. Silakan dijadwalkan lagi.” Sikap ini bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan penegasan bahwa ada batas kewajaran dalam proses hukum. Dengan kata lain, ia ingin menunjukkan bahwa kepatuhan hukum bisa berjalan beriringan dengan perlindungan hak-hak saksi.
Pemeriksaan Tetap yang Pertama
Roy juga menekankan bahwa jika nantinya pemeriksaan dilanjutkan pada hari lain, maka statusnya tetap dihitung sebagai pemeriksaan pertama, bukan pemeriksaan kedua atau ketiga. Hal ini penting untuk menghindari kesan seolah-olah ia beberapa kali dipanggil atau tidak kooperatif.
Pernyataan ini sekaligus memberi pesan bahwa seorang saksi berhak memperjuangkan kejelasan status hukumnya. Jangan sampai ada multitafsir yang bisa menimbulkan stigma, apalagi di tengah isu politik yang sensitif.
Soroti Kejanggalan Laporan
Selain membahas teknis pemeriksaan, Roy Suryo juga mengungkapkan adanya kejanggalan dalam laporan pelapor. Salah satunya berkaitan dengan tempus, atau waktu kejadian. Dalam laporan awal, disebutkan bahwa kasus terjadi pada 26 Maret 2025. Namun, dalam dokumen berikutnya, waktu kejadian berubah menjadi 22 Januari.
Perubahan ini menurut Roy menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin sebuah laporan hukum bisa memiliki dua tanggal berbeda? Ketidakpastian ini dianggap sebagai indikator bahwa laporan tidak disusun secara profesional, bahkan berpotensi melemahkan validitas kasus itu sendiri.
Saksi Bukan Pemberi Opini
Roy kembali menegaskan bahwa posisinya sebagai saksi membuatnya tidak bisa memberikan pendapat pribadi. Ia hanya dapat memberikan keterangan yang relevan sesuai pertanyaan penyidik. Sementara itu, jika dibutuhkan penilaian atau analisis, seharusnya hal itu diserahkan kepada para ahli yang memang diminta secara resmi.
Dengan cara ini, Roy ingin membatasi dirinya agar tidak terjebak dalam spekulasi atau interpretasi yang bisa disalahartikan. Sikap ini juga menunjukkan kehati-hatian, sebab kasus ijazah Jokowi telah lama menjadi isu sensitif yang mudah dipolitisasi.
Kritik atas Profesionalitas
Dalam bagian lain keterangannya, Roy menambahkan kritik mengenai ketidakprofesionalan yang ia temukan dalam proses klarifikasi sebelumnya. Menurutnya, tidak hanya soal waktu kejadian, tetapi juga ada ketidakjelasan terkait lokus (tempat) kejadian. Ketidaksesuaian antara locus dan tempus membuat laporan semakin sulit dipahami.
Hal ini memperlihatkan bahwa masalah bukan hanya terletak pada materi kasus, tetapi juga pada administrasi hukum yang seharusnya disusun dengan teliti. Roy menilai ketidakcermatan seperti itu bisa memperburuk kredibilitas proses penyidikan.
Resonansi Politik dan Publik
Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi memang bukan perkara sederhana. Sebagai sosok yang pernah menduduki kursi presiden selama dua periode, nama Jokowi memiliki resonansi besar di masyarakat. Tuduhan terkait ijazah palsu telah lama menjadi perdebatan, dan kini masuk ke ranah hukum formal.
Keterlibatan tokoh-tokoh publik seperti Roy Suryo membuat isu ini semakin diperhatikan. Di satu sisi, pemeriksaan ini dianggap sebagai bagian dari proses hukum yang harus dijalankan demi kepastian. Namun, di sisi lain, publik juga menyoroti apakah kasus ini benar-benar memiliki dasar kuat atau justru hanya bagian dari manuver politik.
Penutup
Pemeriksaan Roy Suryo di Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi memberikan gambaran menarik tentang dinamika hukum dan politik di Indonesia. Di satu sisi, ia menunjukkan sikap kooperatif dengan hadir memenuhi panggilan penyidik. Namun di sisi lain, ia juga menegaskan hak-hak saksi dengan mengajukan syarat batas waktu pemeriksaan.
Kritik Roy terhadap durasi pemeriksaan, kejanggalan dalam laporan pelapor, hingga soal profesionalitas administrasi menjadi catatan penting bagi aparat penegak hukum. Kasus ini tidak hanya menguji validitas tuduhan, tetapi juga menguji bagaimana hukum dijalankan secara adil, transparan, dan menghargai semua pihak yang terlibat.
Akhirnya, publik menunggu kelanjutan kasus ini, apakah akan membuka babak baru dalam pengungkapan kebenaran, atau justru berakhir sebagai kontroversi panjang tanpa kepastian.
