PBB Cirebon Naik 1000 Persen, Warga Terguncang Tagihan Pajak Rp65 Juta
Lonjakan pajak daerah di Cirebon memicu gelombang keresahan. Sejumlah warga yang sebelumnya membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kisaran jutaan rupiah, kini mendapati tagihan yang melonjak hingga puluhan juta. Kenaikan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menimbulkan beban finansial yang berat, terutama bagi mereka yang pendapatannya tetap atau terbatas. Salah satu kisah yang paling mencuri perhatian adalah milik seorang warga bernama Darma Suryapranata, yang di usia senjanya harus menghadapi tagihan pajak dengan nominal yang jauh melampaui ekspektasinya.
Tagihan Melonjak 1.000 Persen
Darma, yang kini berusia 83 tahun, sebelumnya membayar PBB sebesar Rp 6,2 juta pada tahun 2023. Namun, pada tahun 2024, tagihan yang diterimanya mencapai Rp 65 juta. Lonjakan hampir sebelas kali lipat ini membuatnya terkejut sekaligus kebingungan. Bagi Darma, jumlah tersebut bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan kewajiban yang nyata dan mengancam stabilitas keuangannya.
Kenaikan sebesar ini tidak hanya dialami oleh Darma, tetapi juga sejumlah warga lain yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi. Mereka sama-sama merasakan bahwa beban pajak yang dibebankan pada tahun 2024 benar-benar tidak proporsional jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Dasar Hukum dan Pemicu Kenaikan
Kebijakan yang menjadi pemicu kenaikan ini berlandaskan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu poin utama dari peraturan ini adalah penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang telah lama tidak diperbarui. Pemerintah daerah beralasan bahwa NJOP harus disesuaikan dengan kondisi pasar terkini agar penerimaan pajak daerah lebih optimal dan mencerminkan nilai riil properti.
Penyesuaian NJOP memang sah secara hukum dan dalam banyak kasus menjadi bagian dari strategi peningkatan pendapatan daerah. Namun, ketika penyesuaian tersebut dilakukan secara signifikan dalam waktu singkat, dampaknya terhadap masyarakat bisa sangat besar. Di Cirebon, hasilnya terlihat jelas: kenaikan PBB di beberapa wilayah mencapai 1.000 persen.
Reaksi dan Tuntutan Warga
Lonjakan ini memicu reaksi keras dari warga, khususnya mereka yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi. Bagi mereka, pajak adalah kewajiban yang dipahami dan diakui keberadaannya. Namun, kewajiban tersebut seharusnya dibebankan secara wajar dan mempertimbangkan kemampuan bayar masyarakat.
Paguyuban Pelangi menilai bahwa kebijakan ini tidak adil dan terlalu membebani. Mereka menuntut agar tarif PBB dikembalikan ke angka seperti tahun 2023, atau setidaknya dilakukan penyesuaian bertahap sehingga masyarakat tidak mengalami guncangan ekonomi secara mendadak. Desakan ini muncul dari keprihatinan bahwa banyak warga yang mungkin tidak mampu membayar pajak setinggi itu, sehingga berpotensi kehilangan aset atau menghadapi masalah hukum.
Tanggapan dari DPRD Kota Cirebon
Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon, Harry Saputra Gani, memberikan tanggapan terkait polemik ini. Ia mengakui bahwa kenaikan signifikan memang terjadi di beberapa titik, meski tidak semua wilayah mengalami lonjakan hingga 1.000 persen. Harry menegaskan bahwa penyesuaian NJOP menjadi penyebab utama, dan ini merupakan bagian dari kebijakan yang diambil sesuai peraturan daerah yang berlaku.
Namun, DPRD tidak menutup mata terhadap dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Menurut Harry, kebijakan penyesuaian NJOP memang sudah direncanakan, tetapi implementasinya ternyata menimbulkan beban yang terlalu berat bagi sebagian warga. Hal ini menjadi catatan penting bagi DPRD untuk meninjau kembali aturan yang berlaku.
Rencana Revisi Perda
Sebagai bentuk respons terhadap keresahan masyarakat, DPRD Kota Cirebon memasukkan revisi Perda Nomor 1 Tahun 2024 ke dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Tahun 2025. Rencana revisi ini bertujuan untuk menetapkan batas tarif PBB maksimal sebesar 0,3 persen, yang diharapkan dapat mengurangi beban pajak yang dirasakan warga.
Proses pembahasan revisi ini dijadwalkan rampung pada September 2025. Dengan adanya revisi ini, diharapkan akan tercapai keseimbangan antara kebutuhan daerah untuk meningkatkan pendapatan dan kemampuan warga dalam memenuhi kewajiban pajak mereka.
Dampak Sosial-Ekonomi yang Luas
Kenaikan pajak yang drastis tidak hanya berdampak pada individu seperti Darma, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi perekonomian daerah. Warga yang terbebani pajak tinggi cenderung mengurangi pengeluaran di sektor lain, yang pada gilirannya dapat menekan pertumbuhan ekonomi lokal.
Selain itu, lonjakan pajak juga berpotensi memicu masalah sosial, seperti meningkatnya jumlah sengketa pajak, penundaan pembayaran, hingga ancaman penyitaan aset. Situasi ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah jika tidak segera diatasi dengan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat.
Kritik Terhadap Penetapan NJOP
Salah satu kritik yang banyak disuarakan adalah metode penetapan NJOP. Meskipun penyesuaian NJOP penting untuk menjaga relevansi nilai properti dengan pasar, kenaikan yang terlalu drastis dalam waktu singkat dianggap sebagai langkah yang kurang sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Idealnya, penyesuaian dilakukan secara bertahap, sehingga warga memiliki waktu untuk beradaptasi dengan beban pajak baru. Tanpa pendekatan bertahap, kebijakan ini bisa memicu gelombang penolakan yang besar, seperti yang terjadi di Cirebon.
Harapan Warga Terhadap Kebijakan Baru
Dengan adanya rencana revisi Perda, warga Cirebon berharap bahwa tarif PBB dapat kembali pada tingkat yang wajar dan dapat dibayar tanpa mengorbankan kebutuhan dasar. Mereka juga berharap pemerintah daerah mau berdialog lebih intensif dengan masyarakat sebelum menetapkan kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari.
Darma dan anggota Paguyuban Pelangi menjadi simbol perlawanan warga terhadap kebijakan yang dianggap memberatkan. Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya soal nominal pajak, tetapi juga tentang keadilan dan keberpihakan kebijakan kepada rakyat kecil.
Tantangan Bagi Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah kini menghadapi dilema: di satu sisi, mereka membutuhkan peningkatan pendapatan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan layanan publik. Di sisi lain, mereka harus memastikan bahwa kebijakan fiskal tidak menimbulkan gejolak sosial atau menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Tantangan ini menuntut pemerintah daerah untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan alternatif, selain mengandalkan kenaikan pajak. Misalnya, melalui optimalisasi retribusi daerah, pengelolaan aset yang lebih efisien, atau mendorong investasi yang dapat memperluas basis pajak tanpa membebani warga yang sudah ada.
Kesimpulan
Kasus lonjakan PBB di Cirebon menjadi pelajaran penting bahwa kebijakan pajak harus dirancang dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan fiskal daerah dan kemampuan bayar masyarakat. Penyesuaian NJOP memang perlu dilakukan, tetapi implementasinya harus memperhatikan kondisi sosial-ekonomi warga agar tidak menimbulkan beban yang berlebihan.
Rencana revisi Perda yang sedang digodok DPRD diharapkan menjadi jalan keluar dari permasalahan ini. Dengan batas tarif PBB maksimal 0,3 persen, beban pajak dapat lebih terkontrol, sementara penerimaan daerah tetap terjaga. Namun, yang lebih penting adalah terbangunnya komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang diambil mendapat dukungan dan rasa memiliki dari warga.
Kasus Darma Suryapranata dan warga Paguyuban Pelangi menunjukkan bahwa masyarakat siap membayar pajak selama beban tersebut adil dan wajar. Pemerintah daerah kini dihadapkan pada tugas untuk membuktikan bahwa mereka mampu menyeimbangkan kepentingan fiskal dan kesejahteraan rakyat, demi terciptanya stabilitas sosial dan ekonomi di Cirebon.
